Peneliti ICJR Tanggapi Pidana Denda dan Uang Pengganti Sepanjang 2018 yang Hampir Rp 39,8 Triliun
"Laporan di MA memang meningkat. Artinya memang denda ini semakin besar per perkaranya," kata Genoveva.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia menanggapi laporan tahunan Mahkamah Agung yang disampaikan di Jakarta Convention Center Senayan, Jakarta pada Rabu (27/2/2019).
Ia menilai, meski nilai denda dan uang pengganti yang diperoleh dari perkara inkracht sepanjang 2018 mencapai hampir Rp 39,8 triliun, hal tersebut bukan berarti menunjukan adanya kecenderungan optimalisasi alternatif pemidanaan non pemenjaraan.
Ia menilai, tingginya nilai denda dan uang pengganti yang diperoleh dari putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu menunjukan tren naiknya besaran denda yang ditetapkan.
Baca: Nilai Denda dan Uang Pengganti Putusan Peradilan Pidana Inkracht 2018 Hampir Rp 39,8 Triliun
Hal itu disampaikan Genoveva saat diskusi ICJR bertema "Mencari Solusi Penjara Penuh" di Cikini, Jakarta Pusat pada Rabu (27/2/2019).
"Laporan di MA memang meningkat. Artinya memang denda ini semakin besar per perkaranya," kata Genoveva.
Ia mencontohkan, untuk kasus penyebaran konten bersifat pornografi yang mendera Baiq Nuril saja dendanya bisa mencapai Rp 500 juta.
"Tadi juga sudah disampaikan kebijakan pemidanaan di Indonesia yang ada denda di luar KUHP memang besar-besar. Kayak pasal ITE, misalnya kasus (Baiq) Nuril itu Rp 500 juta. Itu penyebaran konten kesusilaan. Itu saja sudah Rp 500 juta," kata Genoveva.
Denda dan uang pengganti tersebut menurutnya juga bukan diterapkan sebagai pidana alternatif non pemenjaraan karena diterapkan bersamaan dengan pidana penjara.
Padahal menurutnya, persoalan yang dialami Indonesia saat ini adalah banyaknya penjara di Indonesia yang kelebihan kapasitas.
Mengutip data dari Direktorat Jenderal Pemasanyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, ia mengatakan jumlah penghuni Eutan dan Lapas di seluruh Indonesia saat ini telah mencapai 203 persen dari kapasitas yang ada.
"Jadi memang denda itu semakin besar. Tapi masalahnya adalah tren denda yang sekarang itu dia kumulatif dengan penjara. Jadi dia bukan pilihan. Dia dijatuhkan bersama dengan penjara. Susah untuk menyebut itu alternatif," kata Genoveva.
Menurutnya, untuk memecahkan kelebihan kapasitas penjara yang ada saat ini dan menerapkan pidana alternatif non pemenjaraan seharusnya jika denda yang diterapkan nilainya tinggi maka para terpidana tidak perlu dijebloskan ke dalam penjara.
"Atau dendanya jangan terlalu tinggi tapi memungkinkan untuk dibayar kemudian. Karena kalau tidak memungkinkan untuk dibayar kemudian, jatuhnya seakan-akan ada alternatif tapi kalau tidak bisa dibayar subsidairnya kan tetap masuk penjara," kata Genoveva.
Menurutnya, dalam pasal-pasal KUHP jaksa punya pilihan untuk menuntut terdakwa dengan pidana alternatif non pemenjaraan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.