Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Temani Sidang Eksepsi Ratna Sarumpaet, Atiqah Hasiholan: Dakwaan Untuk Ibu Saya Tidak Tepat

Ia menilai dakwaan yang diterapkan Jaksa Penuntut Umum pada ibunya tidak tepat.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Temani Sidang Eksepsi Ratna Sarumpaet, Atiqah Hasiholan: Dakwaan Untuk Ibu Saya Tidak Tepat
Tribunnews.com/gita irawan
Putri terdakwa kasus penyebaran berita bohong atau hoaks Ratna Sarumpaet, Atiqah Hasiholan, usai menemani ibunya menjalani sidang lanjutan dengan agenda eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (6/3/2019). 

Sebab berdasarkan KBBI disebutkan sesuatu disebut telah masuk dalam kategori keonaran apabila polisi sudah sampai turun tangan untuk melerai keonaran tersebut.

Berikutnya Professor Andi Hamzah menelaah ayat 2 pasal 14 UU 1/1946 yang berbunyi 'Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapatmenyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun'.

Professor Andi Hamzah kembali menarik pengertian keonaran dari KBBI yang menjelaskan arti keonaran adalah kegemparan,kerusuhan, keributan yang baru dapat diatasi setelah polisi bertindak.

"Jadi kalau baru ribut di rumah tangga,ribut di RT/RW, itu belum. Karena bisa diselesaikan tanpa polisi," kata Professor Andi Hamzah.

Professor Andi Hamzah juga menganggap Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Prabowo tak boleh disebut patut menyangka bahwa berita yang disampaikan Ratna Sarumpaet bohong.

Makanya Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Prabowo tak bisa dikenakan pasal-pasal itu.

Sementara untuk pasal 15 UU 1/1946, Professor Andi Hamzah menyebut polisi harus bisa membuktikan unsur-unsur di dalam pasal itu dalam peristiwa Ratna Sarumpaet.

Berita Rekomendasi

Berikutnya Professor Andi Hamzah menyebut ada masalah besar dalam UU 1/1946.

Masalah besar itu karena pasal 14 dan pasal 15 UU 1/1946 tidak dioperasionalkan ke dalam KUHP yang diikuti Indonesia sekarang.

"Jadi pada tahun 1946 pemerintah RI menyatakan KUHP yang digunakan adalah KUHP 1 Maret 1942. Ditambah lagi pasal 14 dan pasal 15 yang tidak dioperasional di KUHP 1 Maret 1942 itu," kata Professor Andi Hamzah.

Kemudian baru pada tahun 1958 pemerintah RI baru sadar bahwa ada 2 KUHP yang dipakai sejak 1946 sampai tahun 1958.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas