Idrus Marham Ungkap Cerita di Balik Munaslub Golkar
Menurut dia, pemerintahan presiden Joko Widodo-wakil presiden Jusuf Kalla sudah memberikan restu kepada Airlangga maju menggantikan posisi Novanto
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Idrus Marham mengungkapkan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto sudah dipersiapkan menggantikan Setya Novanto sebagai ketua umum Partai Golkar.
Menurut dia, pemerintahan presiden Joko Widodo-wakil presiden Jusuf Kalla sudah memberikan restu kepada Airlangga maju menggantikan posisi Novanto yang terjerat kasus korupsi proyek pengadaan KTP-el.
"Tanggal 25-26 November (2017,-red) sebenarnya sudah penguatan AH (Airlangga Hartarto,-red) sudah ada telepon dari oknum pemerintahan," kata Idrus, saat memberikan keterangan sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Sejak mantan ketua DPR RI itu berstatus tersangka, kata Idrus, gejolak untuk menggantikan Novanto dengan Airlangga semakin menguat. Belakangan, malah dia mengetahui politisi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih sudah melakukan manuver untuk mengajukan Airlangga.
Bahkan, dia mengklaim, Eni Saragih melakukan konspirasi dengan Airlangga untuk meminta tolong kepada Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd).
"Dan sebelum November saya baru tahu Eni sudah konspirasi dengan AH tanggal 26 (November 2017,-red) minta tolong ke Kotjo. Eni minta ke saya agar Idrus tidak maju ya saya tidak maju," kata dia.
Akhirnya, melalui proses penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) pada bulan Desember 2017, disepakati Airlangga sebagai ketua umum Partai Golkar menggantikan Novanto.
Baca: Pemerintah Saudi Larang Penggunaan Istilah Wisata Religi untuk Haji dan Umrah
"26 malam untuk memperkuat koalisi pemerintahan maka diperkuat Airlangga Hartarto saya plt. Secara de jure mungkin sampai 13 Desember, tetapi de facto elemen golkar sudah ke Airlangga," tambahnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd). Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.