Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Peneliti Perludem Khawatir Penyelenggara Pemilu Jadi Sasaran Luapan Emosi

Dikhawatirkan, mereka yang masuk dalam daftar DPTb meluapkan perasaan marahnya karena terancam haknya untuk memilih terancam.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Peneliti Perludem Khawatir Penyelenggara Pemilu Jadi Sasaran Luapan Emosi
Tribunnews.com/Rina Ayu
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini di kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Sabtu (15/9/2018) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KPU RI terus merampungkan daftar pemilih tambahan (DPTb) di Pemilu 2019.

Sekitar 275 ribu orang tercatat sudah melakukan pindah memilih.

Namun jumlah tersebut terancam kehilangan hak suaranya lantaran ada aturan yang tak lengkap soal DPTb ini.

Dikhawatirkan, mereka yang masuk dalam daftar DPTb meluapkan perasaan marahnya karena terancam haknya untuk memilih terancam.

"Di beberapa praktik Pemilu di Indonesia atau di luar negeri, praktik kekerasan bisa terjadi karena penghilangan hak untuk dipilih maupun hak untuk memilih. Itu diikuti oleh tindakan tindakan kekerasan," kata Direktur Perludem Titi Anggraeni, di Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu (14/3/2019).

Baca: Di Depan Arief Budiman, Fahri Hamzah Menghela Nafas setelah Jelaskan soal DPT dengan Nada Tinggi

Tindak kekerasan bisa saja terjadi karena terbangun pandangan ketidakpuasan terhadap pemenuhan hak mereka.

Bukan tidak mungkin orang-orang yang memiliki afeksi atau fanatisme politik pendukung salah satu peserta Pemilu, mengekspresikan perasaan itu lewat tindakan berupa kekerasan fisik maupu non fisik.

BERITA REKOMENDASI

Baik berbentuk ancaman, kekerasan fisik, perusakan fasilitas pemerintah, ataupun properti pribadi.

Dan tidak menutup kemungkinan, para penyelenggaranya dijadikan sasaran luapan emosi tersebut.

Titi sedikit mengungkap perilaku kekerasan terhadap para penyelenggara Pemilu.

Misalnya di Papua pada beberapa Pilkada terakhir.

Mereka merusak kantor KPU, menyerang penyelenggaranya karena dianggap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab.


"Padahal ada situasi yang itu terkendala oleh kerangka aturan Pemilu," ujarnya.

Katanya, praktik kekerasan di Pemilu lebih rentan terjadi karena ketidakpuasaan, namun di saat bersamaan saluran mendapatkan informasi yang kredibel tidak mereka dapatkan secara maksimal.

Untuk itu, selain peran penyelenggara Pemilu, para elite politik juga harus ikut serta meyakinkan publik bahwa KPU ataupun Bawaslu bersikap profesional.

Karena dalam beberapa kasus kekerasan juga dipicu oleh pandangan publik bahwa mereka dianggap berpihak ke salah satu paslon.

Kondisi lainnya, kekerasa pemilu juga bisa diprovokasi oleh pernyataan elite yang ditangkap para pemilih

"Maka dari itu elite punya tanggung jawab memandu pemilihnya agar bisa melakukab praktik pemilu secara demokratis. Elite itu tanggung jawabnya paling besar. Tanggung jawab moral, politik dan hukum," pungkas Titi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas