Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Proyek Strategis Nasional
Skema pembiayaan proyek infrastruktur yang lebih mengandalkan BUMN karya juga membebani keuangan perusahaan-perusahaan konstruksi pelat merah
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Festival pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo disambut positif banyak pihak.
Harus diakui Indonesia tertinggal dalam ketersediaan infrastruktur dengan negara lain, dan ini pulalah yang membuat ekonomi negeri ini sulit tumbuh signifikan.
Ada 245 proyek strategis nasional, mulai dari jalan tol, bandar udara, pelabuhan, bendungan, hingga proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt.
Total dana yang dibutuhkan tak tanggung-tanggung, mencapai Rp4.197 triliun.
Dari jumlah tersebut, Rp525 triliun diambil dari APBN namun, setelah empat tahun festival proyek berjalan, anomali muncul.
Ekonomi tak tumbuh signifikan, hanya seputaran 5 persen dan Industri manufaktur, yang kerap menjadi kontributor terbesar perekonomian Indonesia, malah melesu.
Sumbangannya kepada PDB turun dari 20,25% pada Kuartal II-2016 menjadi 19,93% pada Kuartal-III 2017.
Baca: Infrastruktur Jalan Nasional di Kabupaten Tangerang Sangat Minim
Sederet masalah ditemukan, seperti Bandara Kertajati sepi penumpang, Jalan tol Becakayu dan Trans Jawa tak diminati angkutan barang karena tarif kemahalan.
Sejumlah bendungan ternyata tak terkoneksi dengan jaringan irigasi.
Beberapa proyek tak sesuai dengan aturan tata ruang. Lalu masalah pembebasan tanah yang tidak tuntas memicu protes warga.
“Banyak target Pemerintah meleset. Pembangunan 65 bendungan yang digadang-gadang Pemerintah hanya selesai enam atau tujuh saja. Tol laut yang katanya bisa mempermurah biaya logistik, nyatanya malah menguntungkan perusahaan ekspedisi besar. Jalan tol yang katanya untuk logistik justru tarifnya memberatkan angkutan truk,” papar Ketua Presidium Barisan Pemeriksa Kondisi Proyek (BPKP), Rusmin Effendy dalam keterangan pers, Jumat (15/3/2019).
Skema pembiayaan proyek infrastruktur yang lebih mengandalkan BUMN karya juga membebani keuangan perusahaan-perusahaan konstruksi pelat merah.
Total utang BUMN karya melejit dari Rp525 triliun pada 2015 menjadi Rp805 triliun per September 2018.
Selain itu, tak sedikit pihak yang mempertanyakan perencanaan proyek, terutama efeknya terhadap biaya logistik, karena sebagian besar proyek yang dikerjaka justru tak berhubungan dengan moda pengangkutan barang tapi orang. Proyek Infrastruktur juga dinilai tak memiliki perencanaan matang dalam hal kajian ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Baca: Kemenhub Ungkap Tol Laut Berkontribusi Besar Kenaikan Volume Logistik Nasional
Pihaknya meminta pemerintah meninjau ulang proyek-proyek yang termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional.
"Mengingat keterbatasan anggaran, pemerintah sebaiknya lebih memprioritaskan proyek-proyek yang akan berdampak langsung terhadap sektor industri manufaktur, seperti jaringan jalan publik untuk angkutan barang dan akses ke infrastruktur utilitas seperti pembangkit listrik dan ladang gas bumi," katanya.
Pemerintah dan pelaksana proyek harus benar-benar menyiapkan kajian awal secara lengkap, termasuk soal skema pembiayaan.
Proyek Strategis Nasional bernilai ekonomi sebaiknya dibiayai oleh Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau murni swasta, sehingga tak membebani APBN dan keuangan BUMN.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa masyarakat terdampak proyek mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka sebelum pengerjaan proyek dimulai.
Selain itu, Pemerintah harus secara seksama mempertimbangkan dampak proyek terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar lokasi proyek, sehingga proyek tak malah menjauhkan masyarakat, terutama dari golongan menengah ke bawah, dari mata pencaharian dan lingkungan sosial mereka.
Ekonom Faisal Basri mengamini bahwa BUMN karya menanggung beban utang sangat besar demi membiayai proyek infrastruktur pemerintah.
Proyek infrastruktur yang saat ini dikerjakan juga dibiayai oleh BUMN karya yang ditunjuk pemerintah.
“Modalnya (BUMN-BUMN karya itu) didapat dari utang. Jadi BUMN ditugaskan bikin LRT, trans Sumatera, jalan tol, melibatkan Wijaya Karya, Waskita, Adhi Karya. Itu penugasan," katanya.
Faisal menyebut sebagian dikasih penyertaan modal negara (PMN) kemudian BUMN yang utang.
"Nah, utang BUMN itu naik itu. Bukan utang pemerintah pusat saja yang naik. Utang BUMN juga naik dari zaman Pak SBY Rp500 triliun naik menjadi Rp805 triliun di era Presiden Jokowi. Ada tambahan utang Rp400 triliunan itu,” kata Faisal.
Sebagian infrastruktur yang kasat mata saat ini tidak dibiayai oleh APBN tapi utang.
Sebagian besar utang tersebut dalam bentuk valas, di mana utangan berbentuk mata uang rupiah tapi membayarnya dalam bentuk mata uang dolar.
Mengenai infrastruktur ini, sempat ditanggapi Jokowi saat calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan saat debat.
Jokowi mengakui bahwa pembangunan infrastruktur seperti LRT dan MRT memang butuh proses dimana harus terlebih dahulu merubah kebiasaan masyarakat untuk mau naik moda transportasi umum, dan pembangunanya juga belum lama.
"Dalam empat tahun sudah kita bangun banyak sekali, jalan tol, pelabuhan, airport, dan inilah yang ingin terus dilakukan agar konektifitas antarpulau dan kabupaten kota," ujar Jokowi.
Pembagunan infrastruktur harus cepat dilakukan sehingga jangan sampai tertinggal dibandingkan negara lain.
Jokowi mengingatkan, manfaat infrastruktur mulai akan dirasakan tidak hanya saat ini tapui juga anak cucu kita nantinya.