Pengamat Sebut Kekayaan Alam Faktor Utama Negara Korup dan Tidak Demokratis
Negara-negara demokratis yang maju dan transparan cenderung tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti: Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan
Penulis: Lendy Ramadhan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Lendy Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kekayaan alam merupakan faktor utama negara menjadi korup, tidak demokratis, dan cenderung miskin.
Hal tersebut disampaikan pengamat politik Center for Strategic International Studies (CSIS), Philip J. Vermonte di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (18/3/2019).
Menurutnya, negara yang memiliki kekayaan alam melimpah merasa otonom terhadap warganya.
Karena dari jualan kekayaan alam tersebut, negara mampu membiayai pembangunan tanpa harus memungut banyak pajak kepada warganya.
Negara-negara tersebut, menurutnya adalah negara-negara yang masuk kategori berkembang dan miskin termasuk: Indonesia, Nigeria, dan negara-negara timur tengah.
Sebaliknya, negara-negara demokratis yang maju dan transparan cenderung tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti: Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Baca: Cerita Eks Pemagang Jepang Tularkan Kisah Sukses ke PMI Jepang
"Sumber Daya Alam itu bisa menjadi sumber korupsi. Kita lihat berbagai negara di dunia, negara-negara yang punya Sumber Daya Alam itu cenderung yang miskin, korup, dan otoriter. Negara-negara yang gak punya Sumber Daya Alam (SDA), kebalikannya: demokratis, kaya dan transparan. Ini kan aneh, Jepang ngga punya SDA, Korea Selatan ngga punya SDA, Taiwan ngga punya SDA. Yang punya SDA: Indonesia, Nigeria, negara-negara Timur Tengah, dan lain-lain index demokrasinya itu terbalik," kata Philip J. Vermonte.
"Penjelasannya, bahwa ketika Sumber Daya Alam banyak, maka negara akan otonom terhadap warganya. Kenapa? Karena dia ngga mengandalkan pajak. Dari jualan Sumber Daya Alam, bahan mentah, dan lain-lain, negara punya profit bisa bangun sekolah, bisa bangun jalan, bisa bangun gedung, bisa menyediakan pendidikan, dan lain-lain tanpa pajak. Akibatnya negara merasa tidak harus bertanggung jawab pada pembayar pajak," tambahnya.
Oleh sebab itu, menurutnya Indonesia harus memikirkan untuk menaikan kontribusi pajak dalam pendapatan negara.
Agar negara lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangan negara dan cenderung tidak korup.
Bila kontribusi pajak dominan dalam pembangunan, maka masyarakat akan sangat marah bila ada korupsi.
Baca: Kerap Kebakaran dan Bencana, Ditjen PAS Pastikan Keselamatan Narapidana
Dengan begitu, negara akan cenderung takut bila berniat untuk korup.
"Hari ini saya kira pemerintah dari waktu ke waktu meningkatkan kontribusi pajak dari warga negara agar segala pembiayaan pembangunan dari pajak. Iitu baik untuk demokrasi, dan menurut saya pada waktunya akan menurunkan korupsi. Karena kita semua akan lebih marah, kalau ada korupsi. Karena kita merasa membayar pajak. Ini terjadi di negara-negara yang lebih demokratis," tutupnya.