Kompas Menjawab: Persatuan dan Masa Depan Indonesia Adalah Komitmen Kami
Akan tetapi, percayalah, satu hal yang tetap menjadi jati diri Kompas adalah kecintaan kepada Tanah Air.
Editor: Malvyandie Haryadi
*Tulisan Ninok Leksono yang dimuat dalam Harian Kompas edisi Selasa 26 Maret 2019
”Kompas dari dulu dikenal sebagai media yang membawa kesejukan. Saya kira itu saja yang diteruskan di saat politik hangat.” (Pesan Wakil Presiden M Jusuf Kalla kepada pimpinan Kompas saat bertemu di Kantor Wapres, Kamis, 21 Maret 2019, seperti dikutip CEO Kompas-Gramedia Lilik Oetama.)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Senin, 25 Maret 2019. Apakah wacana yang menggugah di ruang Redaksi Kompas? Tentu salah satunya moda raya terpadu (MRT) yang sehari sebelumnya, Minggu (24/3/2019), diresmikan Presiden Joko Widodo. Selebihnya pembentukan tim liputan Lebaran serta kehadiran dalam Konferensi WAN-IFRA di Singapura, Mei.
Wacana yang terdengar biasa saja, tetapi dalam membahasnya tetap dengan semangat dan jiwa profesional, disertai hasrat, semangat, dan ketekunan menghadirkan karya jurnalistik bermutu, sekaligus mencerahkan, serta bermanfaat bagi masyarakat luas. Pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara dalam proses rutin profesional itulah yang dijalani Kompas selama kurun hampir 54 tahun.
Dalam perjalanannya, Kompas menyadari, hidup tak selalu berhias ”bulan purnama”. Beda dengan wacana di newsroom, beda pula saat kami menengok gawai, setidaknya dalam tempo sepekan terakhir, khususnya setelah harian ini menerbitkan survei tentang elektabilitas capres-cawapres, Rabu (20/3).
Reaksi muncul, sebagian besar melalui media sosial. Ada yang mempertanyakan metode penelitian, tetapi berikutnya lebih menggebu lagi mereka yang mempertanyakan motif survei. Tak berhenti di situ, penulis opini di media sosial mengupas sosok dan latar belakang Pemimpin Redaksi (Pemred) Kompas.
Medsos hiruk-pikuk membahas survei dan sosok Pemred Kompas dan buntutnya muncul pula ajakan berhenti berlangganan harian ini.
Pada era keterbukaan, Kompas ikhlas menerima semua tudingan dan analisis sepihak, sebagian dengan menerapkan ”ilmu” otak-atikgathuk (mencocok-cocokkan hal menurut versinya sendiri). Izinkan melalui tulisan pendek ini, kami mencoba menjelaskan beberapa hal terkait dengan apa yang dipertanyakan publik.
Sudah 15 kali
Mengikuti kaveat ilmu jurnalistik facts are sacred, opinion is free (CP Scott, Manchester Guardian, 1921), Kompas memperlakukan survei sebagai fakta suci, yang tak bisa diotak-atik. Metodenya sudah teruji dalam 15 kali survei serupa yang dilakukan sebelumnya.
Dengan rentang kesalahan yang bisa diterima, survei sebelum ini tidak menjadi masalah. Namun, Kompas terbuka jika ada masukan atau koreksi jika memang ada kekeliruan metode atau penafsiran, sebagaimana sekali-sekali terjadi dalam penanganan berita.
Dalam catatan Redaksi, Kompas tidak pernah menerima keberatan, baik dari Tim Kampanye Nasional pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sebagian dari setiap kubu justru melihat sisi positif survei. Yang satu melihat survei sebagai wake-up call bahwa pekerjaan belum selesai dan yang lain lebih bersemangat karena melihat masih ada peluang naik.
Pesan penting dari hasil survei adalah tingginya angka pemilih dengan hak suara yang belum menentukan pilihan, 13,4 persen, yang dikhawatirkan berujung pada tidak menggunakan hak pilih. Ini sebenarnya yang ingin kita dorong untuk mencoblos pada 17 April nanti.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.