Terkait Putusan MK, Komisi II DPR Sebut Sudah Sesuai Kesepahaman dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri
Ia mengungkapkan sebenarnya keputusan tersebut merupakan kesepakatan antara Komisi II DPR dengan penyelenggara Pemilu dan Kemendagri.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Eddy Kusuma Wijaya menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan e-KTP bukan syarat wajib agar pemilih bisa memilih di Pemilu sudah tepat.
Ia mengungkapkan sebenarnya keputusan tersebut merupakan kesepakatan antara Komisi II DPR dengan penyelenggara Pemilu dan Kemendagri.
"Untuk yang belum tercatat atau belum terdata itu bisa menggunakan suket dan itu sebetulnya sudah ada kesepahaman antara Komisi II, kemudian KPU, Bawaslu dan Kemendagri," ucapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Selain itu, Eddy menilai keputusan MK tersebut tepat karena hingga saat ini masih banyak warga yang belum melakukan perekaman e-KTP.
"Karena masih banyak sampai sekarang ini yang belum mempunyai e-KTP," jelasnya.
Baca: MK Putuskan Pendaftaran DPTb Hingga H-7, KPU: Hari Ini Kembali Dibuka Pengajuannya
Untuk itu, Eddy mengimbau kepada seluruh pihak untuk menghormati keputusan MK.
Termasuk kepada penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu.
"Jadi masalah suket ini sudah diadakan uji materi di MK dan sudah dikabulkan oleh MK dan ini merupakan suatu penguatan hukum, suatu kekuatan hukum bahwa masyarakat yang mempunyai suket itu dapat melakukan pemilihan di tanggal 17 April," pungkasnya.
MK memutuskan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) tidak menjadi satu-satunya syarat untuk dapat memilih di Pemilu 2019 yang akan dilakukan pada 17 April 2019.
MK memutuskan itu saat membacakan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK, pada Kamis (28/3/2019).
"Menyatakan frasa 'kartu tanda penduduk elektronik' dalam Pasal 384 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu'," ujar Ketua MK, Anwar Usman.
MK menyebut dalil permohonan a quo, yaitu berkenaan dengan Pasal 384 ayat (9), UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dalam hal tidak mempunyai KTP elektronik, dapat menggunakan kartu identitas lainya, yaitu KTP non-elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, atau alat identitas lainnya yang dapat membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilih, seperti Kartu Pemilih yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum" adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebanyak tujuh pemohon mengajukan uji materi ke MK, pada Selasa (5/3/2019).
Ketujuh pemohon, yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili Titi Anggraini, pendiri dan peneliti utama Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.
Kemudian, dua orang warga binaan di Lapas Tangerang, yaitu Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar, serta dua karyawan, Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.
Para pemohon menguji Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2), Pasal 348 ayat (4) dan ayat (9).