Politikus Gerindra Sebut Amplop dalam Kasus Bowo Sidik Digunakan untuk Pilpres
Baginya, itu cukup aneh, mengingat selama ini, petahana Jokowi dinilainya selalu menggunakan jempol atau telunjuk sebagai simbol dari paslon 01.
Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Partai Gerindra Arief Poyuono tak terlalu meyakini jika sejumlah 400 ribu amplop dalam kasus eks politikus Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso digunakan untuk serangan fajar Pileg 2019.
Poyuono mengatakan bahwa Bowo memang mencalonkan diri di Dapil Jateng 2 sebagai inkumben.
"Dan di sana nomor urutnya si Bowo itu nomor dua," kata Poyuono kepada Tribunnews saat dihubungi, Jumat (5/4/2019).
Sementara, lanjut Poyuono, tiga amplop yang telah dibuka KPK menujukkan adanya cap jempol di sana.
"Sekarang yang menjadi fakta bahwa itu merupakan serangan fajar, amplop itu gambarnya jempol, enggak ada gambar Golkar, enggak ada foto Bowo, dan enggak ada nomor urut 2 juga," kata Poyuono.
Baginya, itu cukup aneh, mengingat selama ini, petahana Jokowi dinilainya selalu menggunakan jempol atau telunjuk sebagai simbol dari paslon 01.
"Setiap caleg dari partai pendukung kandidat capres-cawapres punya tugas untuk memenangkan capres-cawaprea mereka. Dan enggak mungkin dengan amplop sebanyak itu gunanya untuk memenangkan Bowo dan Golkar," ujarnya.
Namun, Poyuono tetap meyakini bahwa KPK tetap bekerja secara profesional dan tak ada intervensi dalam kasus Bowo Sidik Pangarso ini.
"Saya yakin KPK pasti menelusur sampai aktor utamanya karena saya yakin Bowo itu bukan aktor utamanya, dan saya sudah dapat info dari internal KPK, kalau ini menteri yang menyuruh," pungkas Poyuono.
Baca: KPK Sita Berbagai Pecahan Mata Uang Asing Terkait Suap SPAM PUPR
Sebelumnya, KPK menguak misteri soal adanya simbol cap jempol dalam amplop serangan fajar milik Anggota DPR Komisi VI Bowo Sidik Pangarso.
"Tidak ada nomor urut, yang ada adalah cap jempol di amplop tersebut," ucap Juru bicara KPK Febri Diansyah di gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (2/4/2019).
Bowo Sidik ditetapkan tersangka oleh KPK karena menerima suap dan gratifikasi. Dia diduga menerima suap sebesar Rp 221 juta dan USD 85.130 atau sekira Rp 1,2 miliar dari Marketing Manajer PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasti.
Suap diberikan kepada Bowo sebagai bagian dari komitmen fee lantaran dia membantu PT HTK mendapatkan kembali kontrak kerja sama dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) untuk mendistribusikan pupuk yang diproduksi PT Pupuk Indonesia.
Selain dari PT HTK yang merupakan unit usaha Humpuss Grup milik Hutomo Mandala Putra atau yang akrab dipanggil Tommy Soeharto, Bowo juga diduga telah menerima gratifikasi sebesar Rp 6,5 miliar. Jika ditotal dengan suap dari PT HTK, maka angkanya mencapai Rp 8 miliar.
Niat Bowo seperti kata KPK, uang Rp 8 miliar yang dipecah kedalam Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu itu bakal digunakan untuk kebutuhan 'serangan fajar'. Karena Bowo akan mencalonkan kembali sebagai anggota DPR periode 2019-2024. Dia merupakan caleg di daerah pemilihan Jawa Tengah II.
Pecahan uang Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu itu tersebar dalam 400 ribu amplop yang kemudian dimasukan kedalam kardus. Jumlah kardus mencapai 84 buah.
Dalam perkara ini, Bowo tidak sendirian. KPK juga menetapkan seorang karyawan PT Inersia bernama Indung dan Marketing Manager PT HTK Asty Winasti sebagai tersangka. Dalam kasus ini, Asty diduga sebagai pemberi, sedangkan Indung berperan sebagai perantara.
Bowo Sidik diduga meminta fee kepada PT HTK atas biaya angkut yang diterima sejumlah USD 2 per metrik ton. Diduga, Bowo Sidik telah menerima enam kali suap dari PT HTK.