Keluarga Korban Kecelakaan Lion Air JT 610 Tolak Santunan Rp 1,25 Miliar, Ini Alasannya
Merdian menjelaskan, hingga saat ini belum menerima ganti rugi dari Lion Air karena menolak menandatangani sebuah dokumen
Penulis: Ria anatasia
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 pada 29 Oktober 2018 lalu, sebagian ahli waris dari korban kecelakaan itu mengaku masih belum mendapat kompensasi dari Lion Air.
Salah satunya adalah Merdian Agustin, istri dari korban Lion Air JT 610 bernama Eka Suganda.
Merdian menjelaskan, hingga saat ini belum menerima ganti rugi dari Lion Air karena menolak menandatangani sebuah dokumen release and discharge (R&D).
Pasalnya, jika Merdian menyetujui perjanjian R&D itu, maka dia memberi jaminan pembebasan dari proses maupun tuntutan hukum kepada Lion Air dan pihak-pihak terkait kecelakaan tersebut.
"Enam bulan sejak kecelakaan, kami belum dapat kepastian pembayaran dari pihak maskapai. Kami bingung, frustrasi dan letih. Suami saya mendadak jadi korban tapi tanggung jawab maskapai hampir tidak ada," kata janda beranak tiga itu di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Baca: Tepis Tudingan Ekslusif, PA 212: Kampanye Prabowo-Sandi untuk Semua Golongan
"Terakhir dihadapkan pencairan ganti rugi harus tanda tangan dokumen release and discharge diwajibkan melepaskan tuntutan kepada banyak pihak, ada Lion Air, Boeing dan 200 anak perusahaan lain buat kami sangat tidak masuk akal," tambahnya.
Merdian bersama anggota keluarga dari 10 korban lainnya pun menuntut pencairan ganti rugi senilai Rp 1,25 miliar tanpa menandatangani R&D.
Mereka didampingi kuasa hukum Kantor Advokat Kailimang & Ponto serta lndrajana Law Group untuk memberi somasi ke Lion Air.
Adapun besaran Rp. 1,25 miliar untuk korban meninggal tercantum pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Pasal 3 huruf a.
Menurut kuasa hukum, Harry Ponto, permintaan Lion Air agar keluarga korban menandatangi R&D menyalahi aturan hukum.
"Pasal 23 (dari PM 77/2011l menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris menuntut ke pengadilan. Tidak ada persyaratan itu (tandatangan R&D berdasarkan undang-undang," kata Harry.
"Ayo sama-sama berjuang tegakkan. Berapapun ganti rugi tidak sepadan berapa kehilangannya, so please jangan dipersulit lagi. Keluarga korban harus lanjutkan kehidupan apalagi yang kehilangan pencari nafkah, tidak pada tempatnya kita berikan beban-beban tambahan," imbuhnya.
Selain itu, Harry meminta pemerintah berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan antara keluarga korban dengan Lion Air.
"Kemenhub pernah keluarkan statement bahwa itu (tanda tangan R&D tidak relevan tapi cukup sampai di sana. Yang korban inginkan ada partisipasi aktif untuk setop selesaikan. Jangan berdiam dir karen bagian keberpihakan untuk dukung masyarakat," pungkasnya.