Aturan Integrasi Papua ke Indonesia Diperkarakan ke MK
Sidang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat (UU Pembentukan Otonom Irba).
Uji materi itu diajukan oleh 14 orang pemohon yang terdiri atas beberapa Perwakilan Dewan Adat Papua, perseoragan warga negara serta Solidaritas Perempuan Papua dan Kemah Injil Gereja Masehi di Tanah Papua (Kingmi).
Baca: MK Tak Berwenang Tangani Sengketa DPD RI antara GKR Hemas dengan OSO
Yan Christian Warinussy, kuasa hukum para Pemohon menyebutkan frasa “Menimbang” dan “Penjelasan Umum Paragraf 7 dan 8” UU Pembentukan Otonom Irba bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini disampaikan pada sidang perkara yang teregistrasi Nomor 35/PUU-XVII/2019 di Ruang Sidang Panel MK, pada Selasa (30/4/2019).
Sidang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra.
Para pemohon mengungkapkan, pelaksanaan dan keputusan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang hanya diikuti sejumlah orang yang tergabung dalam Dewan Musyawarah Pepera sebenarnya tidak sejalan dengan UUD 1945 utamanya Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, kata Yan Christian, UU Pembentukan Otonom Irba berakibat pada ketimpangan ratifikasi yang terdapat pada New York Agreement yang disepakati pada 15 Agustus 1962 antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda. Sehingga, sejarah integrasi Papua ke NKRI menjadi sumber konflik utama di Papua.
“Bahwa konsideran UU a quo telah berakibat pada pembenaran politik yang merugikan hak-hak dasar para Pemohon khususnya Badan Hukum,” kata Yan.
Sementara itu, Simon Patirajawane selaku kuasa hukum lainnya, menyampaikan yang menjadi dasar pelaksanaan Pepera adalah New York Agreement yang dalam Pasal XVIII ayat (d) menyatakan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan dapat terlibat dalam penentuan nasib sendiri yang dilaksanakan menurut kebiasaan internasional.
Hal tersebut, jelas Simon, berbeda dengan sebelum dilaksanakannya Pepera.
Bahwa tidak pernah ada konsultasi dan keterlibatan wakil-wakil resmi dari masyarakat Papua dalam proses pembicaraan dan penetapan New York Agreement dan hanya ada konsultasi dengan badan yang telah lama ada di Papua.
Sehingga tidak memahami aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Adapun dalam pelaksanaan Pepera, pemerintah Indonesia tidak menggunakan sistem one man one vote, tetapi menggunakan Dewan Musyawarah Pepera.
“Namun, hanya selang dua tahun setelah dilaksanakannya Pepera, yakni pada 1971, pemerintah Indonesia dapat melaksanakan pemilu di tanah Papua dengan sistem one man one vote. Hal ini membuktikan sebetulnya sistem tersebut sangat mungkin dilaksanakan bila dikehendaki,” jelas Simon.\
Baca: Pemohon Keberatan Terhadap Penolakan Uji Materi Publikasi Hasil Survei
Melalui Petitum atau tuntutan, para Pemohon meminta Mahkamah agar Penjelasan Umum Paragraf 7 sampai 8 UU Otonom Papua yang berbunyi :
“... Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat (Act of Free Choice) yang dilakukan melalui Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai manifestasi aspirasi rakyat telah terlaksana dan hasilnya menunjukkan dengan positif bahwa rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan, dan rasa persatuannya dengan rakyat di daerah-daerah lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kepercayaan kepada Republik Indonesia, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keputusan Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat tersebut adalah sah dan final tidak dapat diganggu gugat lagi oleh pihak manapun,” bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945."