KOGARTAP Jakarta Awali Komunikasi Yang Berhikmat
Komando Garnisun Tetap I / Jakarta (Kogartap I/JKT) mengawali komunikasi yang berhikmat dengan mengadakan kursus bidang komunikasi
Penulis: FX Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARATA - Komando Garnisun Tetap I / Jakarta (Kogartap I/JKT) mengawali komunikasi yang berhikmat dengan mengadakan kursus bidang komunikasi bagi jajaran pimpinannya. Pelatihan bidang komunikasi itu mengambil judul “Membangun Komunikasi Yang Berhikmat” yang dimulai Senin (29/04/2019) dari serangkaian kegiatan yang telah dijadwalkan. Pemberi materi adalah Konsultan Komunikasi Publik, AM Putut Prabantoro, yang juga alumnus Lemhannas RI PPSA XXI.
“Pelatihan ini dimaksudkan untuk mendukung kinerja seluruh jajaran Gartap Jakarta dalam setiap fungsinya guna mewujudkan sinerji yang solid antara Gartap Jakarta dan Masyarakat. Tujuan dari pelatihan ini adalah membangun dan sekaligus mengubah mindset dalam berkomunikasi untuk jajaran dan pimpinan staf Gartap Jakarta berubah dalam berkomunikasi, mampu berkomunikasi dengan menyesuaikan situasi atau dinamikan ipoleksosbudhankan dan yang terakhir, mewujudkan sinerji yang solid antara Gartap Jakarta dan masyarakat Jakarta,” Ungkap Kasgartap I/JKT, Brigjen TNI Herianto Syahputra.
Menurut Herianto Syahputra, diharapkan setelah pelatihan yang dilaksanakan secara bertahap ini, jajaran Gartap I/Jakarta mampu membangun komunikasi yang berhikmat, mengembangkan dan meningkatkan keahlian komunikasi berhikmat untuk mendukung serta menunjang tugas di tempat kerja termasuk di wilayah subgar masing-masing. Tentu dalam konteks ini, keberhasilan komunikasi berhikmat ini mempermudah terselesaikannya tugas-tugas dan fungsi masing-masing terutama terkait interrelasi dengan masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Sementara itu dalam penjelasannya, AM Putut Prabantoro menegaskan bahwa komunikasi yang berhikmat tidak dapat dilepaskan dari sila keempat Pancasila. Sila keempat ini mengajarkan bangsa Indonesia bagaimana harus berkomunikasi satu sama lain. Ancaman perpecahan ataupun persatuan Indonesia akibat dalam pilkada, pileg ataupun pilpres tidak terlepas dari kelupaan kita menggunakan Sila Keempat Pancasila sebagai pola komunikasi.
“Kita sebenarnya lupa bahwa Sila Keempat ini merupakan pola komunikasi dalam masyarakat. Kata Hikmat dalam kata hikmat kebijaksanaan ini sebenarnya merupakan pola komunikasi termasuk politik untuk menguatkan dan menjaga Sila Ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Kita sudah melihat kekacauan komunikasi politik nyata-nyata terjadi ketika diselenggarakannya pilkada DKI Jakarta tahun 2017 di mana politik identitas, demam hoax, ujaran kebencian, persekusi, bullying terjadi Persatuan Indonesia terancam ikatannya karena komunikasi politik kita mengijinkan cara-cara komunikasi yang tidak sesuai dengan Pancasila,” ujar Putut Prabantoro.
Menurut Putut Prabantoro, pengertian hikmat atau hikmah merupakan pengertian atau pemahaman secara integral atau satu kesatuan, tentang orang, barang, kejadian atau situasi yang menghasilkan kemampuan untuk menganalisa, mengimplementasikan persepsi, penilaian, atau perbuatan sesuai dengan makna yang sebenarnya.
“Dalam komunikasi berhikmat ini, dibutuhkan penguasaan terhadap reaksi emosional komunikator terhadap suatu berita, informasi yang diterima untuk kemudian dipertimbangkan, dianalisa berdasarkan pengetahuan universal yang dipahaminya untuk kemudian dapat menentukan tindakan selanjutnya. Secara singkat, dalam berkomunikasi yang berhikmat diperlukan pemahaman menyeluruh atas semua informasi yang masuk berdasarkan data-data valid yang ada. Artinya, cross check kebenaran suatu informasi merupakan suatu kebutuhan,” tegas Putut Prabantoro, yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) Bidang Komunikasi Politik.
Oleh karena itu, masih menurut Putut Prabantoro, berkomunikasi yang berhikmat dapat diartikan sebagai komunikasi yang meletakkan pada nilai-nilai kebijaksanaan, kecerdasan, akal budi, akal sehat, kecerdikan dan juga “tepa seliro”.
Alumnus Lemhannas PPSA XXI itu juga menegaskan bahwa dalam komunikasi berhikmat setiap komunikator dituntut memiliki pemahaman yang cukup soal sebab-akibat, aksi-reaksi, analisa dan dampak, dan selalu mengajukan pertanyaan utama dengan kata “MENGAPA” sesuatu terjadi demikian dan tidak cukup hanya mengetahui sebuah informasi semata. Kata “local wisdom” sebenarnya mengacu pada nilai-nilai luhur daerah setempat. Artinya, dalam berinteraksi dengan masyarakat seseorang harus berinteraksi dan sekaligus menghormati nilai-nilai luhur yang ada di daerah tersebut.
Putut Prabantoro yang juga Ketua Gerakan Ekayastran Unmada (Semangat Satu Bangsa) mengingatkan pula bahwa komunikasi yang berhikmat selalu mengutamakan kesantunan, unggah-ungguh, budi pekerti karena terkait dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika, yang sebenarnya untuk menegaskan adanya nilai-nilai local wisdom (kearifan lokal) dalam NKRI.
“Agama-agama juga mengajarkan umatnya untuk menggunakan kata hikmat sebagai penjelasan tentang nilai luhur yang harus dihormati dalam interrelasi antar manusia. Oleh karena Pancasila itu way of life atau falsafah hidup bagi bangsa Indonesia termasuk di dalamnya tentu berkomunikasi, sudah seharusnya kita mengembangkan komunikasi yang berhikmat agar Persatuan Indonesia tetap utuh,” tegas Putut Prabantoro.