Plt Direktur Utama PLN Mengaku Dicecar 18 Pertanyaan oleh Penyidik KPK
KPK mencecar Plt Direktur Utama PT PLN Muhamad Ali dengan 18 pertanyaan saat diperiksa untuk tersangka Sofyan Basir.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PT PLN Muhamad Ali mengaku dicecar 18 pertanyaan oleh penyidik KPK.
Hal itu diucapkan Muhammad Ali selepas menjalani pemeriksaan terkait kasus suap kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Muhammad Ali diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT PLN nonaktif Sofyan Basir.
Baca: Soal People Power, Kapolri: Perbuatan untuk Menggulingkan Pemerintah yang Sah Ada Ancaman Pidananya
"Tadi ada 18 pertanyaan, kita jelaskan, yang tadi periksa Pak Jamanik (penyidik) kita jelaskan semua sesuai dengan yang kita tahu tentang Riau-1 ini," ucap Muhammad Ali usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2019).
"Jadi hari ini dimintai penjelasan terkait dengan status Pak Sofyan Basir sebagai tersangka untuk proses ini," sambung Ali.
Namun kata Ali, kapasitas dirinya diperiksa bukan sebagai Plt Dirut PLN, melainkan sebagai Director of Human Capital Management PT PLN.
Baca: Jusuf Kalla: Pemindahan Ibu Kota Perlu Waktu 10 hingga 20 Tahun
Jabatan yang diembannya sebelum jadi Plt Dirut PLN menggantikan Sofyan Basir.
"Nah saya ditanya sebagai kapasitasnya sebagai Director of Human Capital Management, tentang pengetahuannya. Tentang Riau-1 semuanya sudah saya jelaskan," kata Ali.
Sebelumnya kepada wartawan, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menerangkan, Ali dicecar terkait sirkulasi power purchase agreement (PPA) dan standard operating procedure (SOP) di PLN.
"Pemeriksaan terkait sirkulasi PPA dan SOP di PLN," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2019).
Baca: Sandiaga Uno: Alhamdulillah Rumah Siap Kerja Sudah Lepas dari Kegiatan Politik
Febri menyampaikan SOP yang dimaksud terkait kerja sama PLN dengan pihak lain.
Dia juga menyebut Ali ditanyai soal standar pembuatan kontrak dengan pihak lain terkait kasus yang menjerat Sofyan Basir.
"SOP yang berlaku di PLN terkait dengan bagaimana kerjasama dengan pihak lain, keputusan-keputusan, dan kontrak dengan pihak lain yang terkait pokok perkara ini," kata Febri.
Tersangka dalam perkara ini adalah Sofyan Basir.
Sofyan diduga membantu bekas anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan pemilik saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo mendapatkan kontrak kerja sama proyek senilai USD 900 juta atau setara Rp 12,8 triliun.
Baca: Menteri Agama Tunaikan Zakat Lewat BAZNAS
Sofyan hadir dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh Eni Maulani Saragih, Johannes Kotjo dan pihak lainnya untuk memasukkan proyek 'Independent Power Producer' (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 PT PLN.
Pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK), Sofyan diduga telah menunjuk Johannes Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1 karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
Sehingga, PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam RUPTL PLN.
Setelah itu, diduga Sofyan Basir menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar 'Power Purchase Agreement' (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co (CHEC) segera direalisasikan.
KPK juga sudah mengirimkan surat permohonan cegah untuk Sofyan sejak 25 April 2019 hingga enam bulan ke depan.
Terkait perkara ini, sudah ada 3 orang yang dijatuhi hukuman yaitu mantan Menteri Sosial yang juga mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan.
Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu juga telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 5,87 miliar dan SGD 40 ribu.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga memberikan suap kepada Eni Maulani Saragih sejumlah Rp 5 miliar.