Enam Anggota DPRD Sumut Divonis Masing-masing 4 Tahun Penjara
Keenam anggota DPRD Sumut itu adalah Pasiruddin Daulay, Elezaro Duha, Tahan Manahan Pangabean, Tunggul Siagian, Fahru Rozi, dan Taufan Agung Ginting.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis enam mantan anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) masing-masing 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Keenam anggota DPRD Sumut itu adalah Pasiruddin Daulay, Elezaro Duha, Tahan Manahan Pangabean, Tunggul Siagian, Fahru Rozi, dan Taufan Agung Ginting.
Selain enam orang itu, hakim memvonis mantan anggota DPRD Sumut Musdalifah dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
"Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata hakim ketua Hastopo saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Keenam anggota DPRD Sumut itu diyakini bersalah menerima uang 'ketok palu' dari Gatot Pujo Nugroho untuk mengesahkan APBD Pemprov Sumut tahun anggaran 2012-2015.
"Para terdakwa masing-masing menerima uang, yaitu Pasiruddin Daulay Rp 127,5 juta, Elezaro Duha, Rp 415 juta, Musdalifah Rp 427,5 juta, Tahan Manahan Panggabean Rp 835 juta, Tunggul Siagian Rp 477,5 juta, Fahru Rozi Rp 347,5 juta, Taufan Agung Ginting Rp 392,5 juta. Maka perbuatan terdakwa menerima hadiah atau sesuatu terpenuhi secara sah menurut hukum," jelas hakim.
Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan suap ini terjadi saat pimpinan DPRD Sumut Chaidir Ritonga, M Afan, Kamaluddin Harahap, dan Sigit Pramono Asri meminta uang ketok palu kepada Sekda Pemprov Sumut Nurdin Lubis.
Untuk memenuhi permintaan itu, Gatot Pujo mengumpulkan uang dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk diberikan kepada para anggota DPRD Sumut.
Baca: Hendropriyono Ingatkan WNI Keturunan, Menhan: Jangan Sampai Kita Terpecah Lagi
Setelah itu, para anggota DPRD Sumut juga meminta kembali uang ketok palu kepada Gatot Pujo. Akhirnya disepakati proyek senilai Rp 1 triliun diganti Rp 50 miliar untuk seluruh anggota DPRD itu.
Pembagian uang itu melalui Bendahara Sekretaris Dewan M Alifaniah agar seolah-olah anggota DPRD Sumut mengambil gaji atau honor setiap bulan.
Selain itu, pada tahun anggaran 2014 dan 2015, pimpinan DPRD Sumut kembali bertemu dengan jajaran Pemprov Sumut untuk minta uang ketok palu. Uang itu dibagikan Sekwan Sumut Randiman Tarigan, kepada anggota DPRD, termasuk para tujuh terdakwa.
Hakim mengatakan ketujuh terdakwa menerima uang menolak usulan hak interpelasi dugaan adanya pelanggaran terhadap Permendagri terkait evaluasi Ranperda Pemprov Sumut tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran RAPBD 2014.
Atas usulan tersebut, Gatot kemudian memberikan kompensasi kepada masing-masing anggota DPRD itu sebesar Rp 200 juta, termasuk ketujuh terdakwa.
Selain menjatuhkan hukuman berupa pidana pokok, mereka juga diharuskan membayar uang pengganti perkara dengan jumlah yang berbeda.
Pidana tambahan berupa membayar uang pengganti, yaitu Pasiruddin Daulay, Rp 77,5 juta, Elezaro Duha, Rp 315 juta, Musdalifah, Rp 427,5 juta, Tahan Manahan Panggabean, Rp 705 juta, Tunggul Siagian, Rp 377,5 juta, Fahru Rozi, Rp 322,5 juta, dan Taufan Agung Ginting, Rp 142,5 juta.
Apabila para terdakwa tidak membayar uang pengganti, harta benda akan disita KPK untuk dilelang. Jika harta benda tidak mencukupi, enam terdakwa akan dikenai pidana tambahan 6 bulan penjara. Selain itu, khusus untuk Musdalifah pidana tambahan 1 tahun penjara jika harta benda tidak mencukupi.
Mereka diketahui sudah mengembalikan uang kepada KPK yaitu Pasirudin Daulay mengembalikan Rp 50 juta, Elezaro mengembalikan Rp 200 juta, Tahan mengembalikan Rp 130 juta, Tunggul mengembalikan Rp 100 juta, Fahru mengembalikan Rp 55 juta, Taufan mengembalikan Rp 250 juta. Sementara itu, terdakwa Musdalifah belum mengembalikan uang.
Selain itu, hakim menetapkan mencabut hak politik ketujuh terdakwa untuk dipilih selama 3 tahun setelah menjalani pidana pokok.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik 3 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok," ujar hakim.
Atas perbuatan itu, mereka dijerat Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 KUHP.