Pengamat: Jika Dibandingkan, Pemilu Era Orde Baru Terburuk Ketimbang Pemilu 2019
Tentang kenetralan PNS/ASN pada era Orde Baru bisa menjadi satu bukti keburukan Pemilu di era tersebut.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tuduhan Ketua Kuasa Hukum Tim BPN Bambang Widjojanto (BW) tidak berdasar, menyatakan Pemilu 2019 sebagai Pemilu terburuk sepanjang Indonesia berdiri.
Pemilu 2019, menurut pengamat politik Leo Agustino, telah berjalan Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil).
Apalagi pemilu kali ini adalah sejarah bagi bangsa ini, menyelenggarkan pemilihan lima surat suara, yakni Pilpres, Pileg untuk DPR RI, Pileg untuk DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
"Pelaksanaannya tidak berjalan sempurna hal itu adalah wajar. Sebab kita belum punya pengalaman menyelenggarakan Pemilu Serentak," ujar Leo Agustino kepada Tribunnews.com, Rabu (29/5/2019).
Tapi secara keseluruhan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 berjalan luber dan jurdil serta berjalan sesuai rencana para penyelenggara Pemilu.
Jika dibandingkan dengan Pemilu era Orde Baru, maka dia tegaskan, Pemilu terburuk terjadi pada era tersebut. Bukan Pemilu 2019.
Pegawai Negeri Sipil (PNS/ASN) tidak netral, penyelenggara Pemilu berpihak pada kemenangan pemerintah.
Pun demikian kepala daerah harus memenangkan daerahnya untuk memenangkan partai pemerintah, partisipasi dimobilisasi, pemilih lain diintimidasi, partai politik dikontrol, dan lain sebagainya.
"Ini menunjukkan sedikit keburukan dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu kali ini," jelas Leo Agustino.
Tentang kenetralan PNS/ASN pada era Orde Baru bisa menjadi satu bukti keburukan Pemilu di era tersebut.
"Era Orde Baru, semua PNS/ASN harus memilih Golkar, jika tidak maka sanksi ringan hingga yang terberat akan berimbas pada mereka yang tidak memilih," jelasnya.
Selain itu, kritik pada pemerintah — seperti yang terjadi pada saat ini — tidak pernah terjadi.
Kalau itu yang terjadi, maka para PNS/ASN tersebut akan ditindak “keras,” bukan hanya tegas. Dalam era tersebut PNS/ASN tidak bisa netral karena berpihak.
"Keberpihak mereka bukan hanya dalam bentuk perilaku memilih, tetapi juga tidak jarang mereka menjadi juru kampanye Golkar. Dan itu dilakukan secara terang-terangan tanpa rasa bersalah — malah sebagian dari mereka merasa bangga," paparnya.