KPK Bakal Petakan Aset Sjamsul Nursalim di Luar Negeri
"Prinsip dasarnya kalau ada aset yang misalnya asetnya berada di Indonesia tentu akan dilakukan tracing (pelacakan)," katanya
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan memetakan sejumlah aset dari pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim yang terdapat di luar negeri.
Penelusuran aset itu merupakan bagian dari pemulihan aset atas kerugian negara triliunan Rupiah yang diduga timbul akibat korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Baca: KPK Berencana Gugat Balik Sjamsul Nursalim
"Prinsip dasarnya kalau ada aset yang misalnya asetnya berada di Indonesia tentu akan dilakukan tracing (pelacakan). Kalau ditemukan informasi juga ada aset di luar negeri di manapun itu ya, tidak harus di Singapura maka tidak tertutup kemungkinan akan diidentifikasi juga," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (11/6/2019).
Penelusuran aset Sjamsul Nursalim di luar negeri tentu akan dibarengi dengan sejumlah proses koordinasi dengan sejumlah pihak terkait dan otoritas negara setempat.
Karena, KPK tidak bisa masuk melakukan tindakan-tindakan hukum di luar yurisdiksi Indonesia.
KPK berharap dari penelusuran dapat membuka jalan untuk memulihkan kerugian yang diderita keuangan negara terkait perkara ini.
"Identifikasi dari aset-aset yang dipandang relevan, saya belum bisa sampaikan secara detail ya apa saja yang sudah diidentifikasi atau asset tracing sudah dilakukan terhadap aset yang mana saja. Kami harapkan Rp4,58 triliun bisa dirampas untuk negara dan kemudian dikembalikan ke dalam masyarakat," jelas Febri Diansyah.
Kasus ini bermula pada saat BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet, dan dana talangan valas.
Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut.
BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp4,8 triliun.