Fadli Zon Minta Pemerintah Kaji Dengan Benar Penyebab Mahalnya Harga Tiket Pesawat
Fadli Zon berpendapat pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam untuk mengetahui penyebab mahalnya harga tiket pesawat
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpendapat pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam untuk mengetahui penyebab mahalnya harga tiket pesawat yang berujung terhadap anjloknya penumpang sejak Januari hingga April 2019.
Kajian tersebut penting agar pemerintah tidak mengeluarkan solusi yang berpotensi melanggar aturan seperti membuka pintu maskapai asing masuk ke Indonesia.
"Benarkah anjloknya jumlah penumpang karena harga tiket mahal, atau karena ada faktor lain, seperti anjloknya daya beli, misalnya? Ini perlu ditelaah lebih dahulu, tak bisa disimpulkan sepihak begitu saja," kata Fadli Zon, Minggu (16/6/2019).
Menurut Fadli Zon harus dikaji apakah mahalnya tiket pesawat karena faktor duopoli atau justru karena faktor lainnya, seperti buruknya tata kelola industri penerbangan, termasuk buruknya pemerintah dalam menyusun regulasi.
Baca: Dibimbing Ade Rai agar Berat Badan Proporsional, Aria Permana Kini Ogah Makan Mie Instan
Baca: Kubu 02 Minta Perlidungan Saksi, TKN: Yang Penting Saksinya Benar-benar Asli Bukan Rekayasa
Baca: Kisah Kakak Ipar Paksa Adiknya yang Masih di Bawah Umur Berhubungan Intim di Kebun Sawit
Baca: Festival Peh Cun, Potensi Wisata Kelas Dunia di Kota Tangerang
Alasannya menurut Wakil Ketua Umum Gerindra itu, pemerintah seringkali melontarkan pernyataan sembarangan terkait kebijakan dalam industri penerbangan.
Kesimpulan-kesimpulan yang disampaikan kepada publik seringkali keliru.
Pertama, ketika harga tiket pesawat pertama kali melonjak pada akhir 2018 lalu, Presiden mengkambinghitamkan harga avtur sebagai penyebab kenaikan harga tiket dan secara sepihak menyebut bahwa mahalnya harga avtur adalah karena monopoli Pertamina.
"Padahal, harga avtur waktu itu justru sedang dalam tren penurunan," katanya.
Fadli menjelaskan bahwa rata-rata harga avtur dunia yang pada Oktober 2018 berada pada level US$2,25 per galon, kemudian turun 13,52 persen menjadi US$1,95 pada November 2018, dan kembali turun menjadi US$1,71 pada Desember 2018.
Jadi, naiknya harga tiket pesawat di Indonesia justru terjadi pada periode ketika harga avtur turun.
Bahkan, maskapai-maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) pada Februari lalu mengakui bahwa kenaikan harga tiket memang tak berkaitan dengan avtur.
"Jadi, dari mana Presiden mendapatkan informasi bahwa kenaikan harga tiket akibat harga avtur?" katanya.
Ia menilai bahwa rendahnya harga tiket pesawat sebelum ini sebenarnya terjadi bukan karena efisiensi, melainkan karena praktik perang tarif yang dilakukan industri penerbangan.
Maskapai tak bisa melanjutkan perang tarif sejak kurs Rupiah terus merosot terhadap dollar, yang membuat biaya operasional jadi melonjak.
Terbukti, kinerja keuangan semua maskapai domestik sejak 2017 lalu memang cenderung memburuk.
Garuda Indonesia, misalnya, hingga akhir kuartal III 2017 mencatatkan kerugian US$110,2 juta.
Selain Garuda, Air Asia Indonesia juga mengalami kinerja keuangan serupa.
Pada kuartal III 2018, Air Asia menderita kerugian Rp639,16 miliar, atau membengkak 45 persen year on year (yoy).
Saat ini angkanya, menurut Kementerian Perhubungan, bahkan telah mencapai Rp1 triliun.
Tahun ini juga tak ada satupun maskapai yang mencatatkan keuntungan.
"Jadi, tertekannya maskapai penerbangan kita sebenarnya juga disumbang oleh kegagalan Pemerintah memperbaiki indikator-indikator ekonomi makro,"katanya.
Selain itu, meskipun pemerintah terus jorjoran membangun bandara, rute serta frekuensi penerbangan juga bertambah, ditambah maskapai menambah jumlah pesawat, penumpang dan barang yang diangkut relatif stagnan.
Jika dibandingkan dengan ketersediaan produksi, misalnya, maka sejak 2014 telah terjadi penurunan jumlah penumpang yang diangkut dari sebelumnya sebesar 82,33% (2014) menjadi tinggal 77,56% (2017).
Artinya menurut Fadli, selama ini pembangunan infrastruktur bandara, pembukaan izin rute baru, serta pemberian izin penambahan armada tidak pernah memperhatikan jumlah penumpang dan kebutuhan riil masyarakat, sehingga terjadi ‘oversupply’ yang membuat industri penerbangan kita tak efisien.
"Jadi, kembali lagi pada isu Presiden yang ingin mengundang maskapai asing untuk menekan harga tiket, saya kira ide itu ‘misleading’," katanya.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk membuat diagnosa yang benar, atas masalah mahalnya tiket pesawat, agar solusi untuk mengobati industri penerbangan kita tepat.
"Isu penerbangan ini sebaiknya tidak dilihat hanya dengan kacamata konsumerisme, yaitu bagaimana menyediakan tiket murah untuk konsumen, tapi juga harus memperhatikan aspek kedaulatan dan geostrategis pertahanan keamanan," ucapnya.
Berpotensi tabrak aturan
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai rencana Presiden Joko Widodo mengundang maskapai asing untuk melayani rute domestik berpotensi menabrak banyak aturan.
Rencana tersebut menurut Fadli Zon bertentangan dengan semangat menegakkan kedaulatan udara.
"Di samping itu, saya mencermati pernyataan-pernyataan Presiden terkait industri penerbangan sejak akhir tahun lalu, mulai dari isu harga avtur, tiket mahal, hingga ke rencana mengundang maskapai asing, sama sekali tak mencerminkan road map penyelesaian masalah," kata Fadli Zon, Minggu (16/6/2019),
Fadli Zon mengatakan Presiden telah gagal paham atau mendapatkan informasi keliru dari para pembantunya.
Baca: Ketua DPR Dorong Generasi Muda Peduli Dampak Otomatisasi dan Digitalisasi Perekonomian
Baca: Kubu 02 Minta Perlidungan Saksi, TKN: Yang Penting Saksinya Benar-benar Asli Bukan Rekayasa
Baca: Kisah Satgas Yonif PR 328 Selamatkan Warga Kampung Mosso Papua yang Kesulitan Persalinan
Baca: Arti Kode Huruf yang Tertera pada Boarding Pass, Waspada dengan Kode SSSS
Pemahaman yang keliru mengenai industri penerbangan ini berbahaya, karena bisa mengancam kedaulatan udara kita.
Ia menjelaskan bahwa mengundang maskapai asing ke Indonesia akan bertabrakan dengan regulasi internasional yang disebut Cabotage Article 7 dalam Chicago Convention.
Cabotage adalah hak suatu negara untuk mengelola transportasi laut, udara, serta moda transportasi lainnya untuk melindungi kedaulatan teritorialnya. Hak menolak termisi (right to refuse) ini berawal dari Paris Convention 1919 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara di ranah udara bersifat konkret dan ekslusif.
Artikel tadi menurut Wakil Ketua Umum Gerindra itu, tak melarang maskapai asing melayani rute internasional, hanya melindungi rute domestik saja, untuk menjaga kedaulatan udara tiap-tiap negara.
Itu pula sebabnya tak ada negara manapun di dunia yang memperbolehkan maskapai asing melayani rute domestik di negaranya. Rute penerbangan domestik pastilah diproteksi sedemikian rupa, bahkan di negara paling liberal sekalipun.
"Makanya saya bertanya-tanya, bagaimana bisa Presiden tiba-tiba melontarkan pernyataan akan membuka rute domestik bagi maskapai asing? Usulan dari mana itu?" tuturnya.
Selain menabrak konvensi internasional, menurut Fadli, usulan membuka rute domestik bagi maskapai asing juga bertentangan dengan dua regulasi yang ada di Indonesia.
Pertama, usulan tersebut bertentangan dengan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, terutama Pasal 108, yang menyebutkan bahwa badan usaha angkutan udara niaga nasional seluruh atau sebagian besar modalnya haruslah dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
Kedua, usul Presiden tersebut melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No. 44/2016 mengenai bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka di bidang penanaman modal.
Baca: Intip Sederet Foto Anggota Girl Squad di Acara Tunangan Jessica Iskandar
Baca: Sederet Kesaktian Setya Novanto dengan Berbagai Ulah Kontroversial
Sebagai catatan, maskapai asing memang bisa saja beroperasi di Indonesia, namun mereka harus mengubah badan hukumnya jadi berbadan hukum Indonesia, seperti yang dilakukan Air Asia Indonesia.
Hal yang sama juga berlaku di negara lain.
Thai Lion, misalnya, meskipun namanya Lion, tapi pemegang saham mayoritasnya adalah Thailand, bukan Lion Indonesia.
Begitu juga dengan Batik Malaysia, pemilik mayoritasnya adalah Malaysia, bukan Batik Air Indonesia.
"Jadi, saya berharap Presiden berhati-hati sebelum melontarkan pernyataan. Jangan sampai kita jadi bahan tertawaan dunia karena asal ngomong tanpa memperhatikan konvensi hukum dengan berbagai konsekuensinya," katanya.
Pernyataan Menhub
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyambut baik usulan Presiden Joko Widodo untuk mengundang maskapai asing ikut berbisnis di Indonesia.
Hal ini guna menjadi solusi mahalnya harga tiket pesawat serta meningkatkan kompetisi penerbangan domestik yang saat ini didominasi dua grup maskapai Lion Air Group dan Indonesia.
"Ini kan suatu tindakan, saran yang baik dari presiden. Segala bisnis apapun kalau dilakukan dengan kompetisi, otomatis timbul keseimbangan antara demand dan supply" kata Budi di kantor Kemenhub, Jakarta,Senin (3/6/2019).
Baca: Tenangkan Pikiran, SBY Akan Berada di Cikeas Selama Seminggu
Baca: Lion Air Diduga Tolak Check-In Penumpang yang Tak Telat, Menhub Budi: Kalau Melangar Kami Tegur
Baca: Ani Yudhoyono Berpulang, Cucu Paling Kecil Hanya Tahu Neneknya Bobok
"Jadi di industri apapun kalau demand dan supply berimbang maka harga akan terkoreksi dengan angka equilibirium," imbuhnya.
Budi mengaku akan mengkaji rencana kebijakan tersebut. Dia ingin memastikan, maskapai manapun yang hendak berkantor di RI tak melanggar azas cabotage di mana kepemilikan saham tidak lebih dari perusahaan nasional, yakni 49 persen asing, 51 persen dalam negeri.
"Kita tau apabila ada perusahaan asing akan beroperasi di Indonesia, harus memenuhi azas cabotage di mana perusahaan asing harus bekerja sama dengan perusahaan Indonesia, mayoritas (saham) adalah dimiliki oleh perusahaan Indonesia," jelasnya.
Selain itu, Budi tak ingin sembarangan mengizinkan maskapai asing masuk ke RI. Dia ingin memastikan maskapai tersebut memenuhi standar keamanan penerbangan di tanah air.
Baca: Oesman Sapta Buka Puasa Bersama Maruf Amin
"Tentu kita tidak dengan mudah menerima perusahaan asing, apalagi angkutan udara ini membutuhkan suatu kualifikasi yang baik. Jadi kami sedang mengkaji dan kami akan melaporkan kepada pak presiden sebelum menetapkan apa yang akan dilakukan," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.