MK Nilai Tak Beralasan Dalil Politik Uang Dengan Naikkan Gaji PNS, TNI/Polri
Pemohon mendalilkan mengenai penyalahgunaan APBN dan program kerja pemerintah.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi ( MK) menolak dalil yang disampaikan tim hukum paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengenai kecurangan pemilu berupa penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Dalil pemohon itu tidak beralasan menurut hukum," ujar hakim Konstitusi, Arief Hidayat saat membacakan putusan, di Gedung MK, Kamis (27/6/2019).
Pemohon mendalilkan mengenai penyalahgunaan APBN dan program kerja pemerintah.
Menurut Pemohon, itu terlihat dengan menaikkan gaji dan membayar rapelan gaji PNS, TNI dan Polri, menjanjikan gaji ke-13 dan THR lebih awal, menaikkan gaji perangkat desa, menaikkan dana kelurahan, mencairkan dana bansos, menaikkan dan mempercepat penerimaan program keluarga harapan, menyiapkan skema rumah 0 persen untuk ASN, TNI dan Polri.
Pun penyalahgunaan anggaran dan program kerja negara yang lain, misalnya pembangunan infrastruktur yang dikebut selesai pada April 2019. Dan pembangunan infrastruktur yang disalahgunakan menjadi ajang kampanye, salah satunya peresmian MRT.
Menurut pemohon, kecurangan tersebut di atas adalah bentuk lain dari money politic atau vote buying.
Baca: 4 Jam Sidang Putusan Sengketa Pilpres 2019, Begini Ekspresi Tim Hukum Prabowo-Sandiaga
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemohon tidak merujuk defenisi hukum tertentu yang membuat pengertian untuk penjelasan mengenai money politic atau vote buying.
Sehingga menurut MK, menjadi tidak jelas apa yang sebenarnya dimaksud dengan money politic atau vote buying tersebut.
"Sebagai konsekuensinya, menjadi tidak jelas pula apakah hal-hal yang didalilkan pemohon tersebut merupakan modus lain dari money politic atau vote buying," jelas Arif Hidayat.
"Lebih-lebih pemohon tidak membuktikan secara terang apakah hal-hal yang didalilkan tersebut benar-benar terbukti mempengaruhi suara pemilih," tegas Arief Hidayat.
Belum lagi menurut MK, pemohon hanya mengunakan frasa 'patut diduga' untuk mengaitkan kenaikan gaji dengan pengaruhnya atas pilihan dukungan PNS, TNI, dan Polri.
Dengan kata lain, pemohon hanya mendasarkan pada logika dan nalar semata-mata untuk membuktikan permohonannya tersebut.
Dengan hanya bertolak dari logika dan penalaran semata-mata ditambah dengan ketiadaan pengertian hukum yang dijadikan rujukan oleh pemohon tentang apa yang dimaksud dengan money politic atau vote buying, maka sangat tidak mungkin MK membenarkan dalil pemohon.
"Maka sangat tidak mungkin bagi Mahkamah untuk memebenarkan dalil pemohon, bahwa hal-hal yang didalilkan tersebut merupakan modus lain dari money politic atau vote buying," jelas Arief Hidayat.
Karena itu pula, tegas dia, menjadi tidak mungkin pula bagi MK, untuk menyatakan hal-hal yang didalilkan tersebut secara faktual telah memperngaruhi suara pemilih yang merugikan pemohon.
"Lagi pula dalam persidangan tidak terungkap fakta apakah pemohon telah mengadukan hal-hal yang didalilkan tersebut sebagai modus lain dari money politic atau vote buying itu kepada Bawaslu," ucapnya.