JPU pada KPK Sebut Sudah Merinci Peran Sofyan Basir di Surat Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK, Budhi Sarumpaet, menegaskan JPU pada KPK sudah menyusun surat dakwaan secara cermat, jelas, dan lengkap sesuai den
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK membantah alasan tim penasihat hukum terdakwa Sofyan Basir yang menyatakan JPU pada KPK telah membuat surat dakwaan yang membingungkan terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang menjerat Sofyan Basir.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK, Budhi Sarumpaet, menegaskan JPU pada KPK sudah menyusun surat dakwaan secara cermat, jelas, dan lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menurut dia, penerapan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP dalam Surat Dakwaan Perkara A quo merupakan penekanan terhadap unsur pembantuan dan ancaman hukuman pidana terhadap terdakwa dengan tetap mempertimbangkan kepentingan keadilan substantif dengan tanpa mengorbankan hak-hak terdakwa dalam melakukan pembelaan perkara ini.
"Dengan demikian, alasan (dalih) penasihat hukum yang menyatakan bahwa dengan menjunctokan Pasal 15 Undang-Undang Tipikor dengan Pasal 56 ke-e KUHP dalam surat dakwaan sangat membingungkan terdakwa adalah tidak beralasan sama sekali," kata Budhi Sarumpaet, di Pengadilan Tindak Pidana Korusi Jakarta, Senin (1/7/2019).
Dia menjelaskan, menjunctokan Pasal 56 ke-2 KUHP, maka terlihat secara jelas dan nyata rumusan delik atas perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara ini sesuai dengan Pasal 56 ke-2 KUHP.
Sehingga, kata dia, untuk membuat terang dan jelas tentang peran terdakwa dalam surat dakwaan dalam perkara a quo, maka penuntut umum menjunctokan dengan rumusan unsur delik pembantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ke-2 KUHP.
Baca: 33 Orang Tim Hukum 01 dan Erick Thohir Akan Temui Jokowi di Istana Bogor
"Sehingga nantinya dapat memudahkan terdakwa dan penasihat hukum untuk menyusun pembelaan. Sebaliknya. Apabila penuntut umum tidak menjunctokan ketentuan Pasal 56 ke-2 KUHP, maka akan terjadi ketidakjelasan rumusan delik pembantuan, mengingat Pasal 15 Undang-Undang Tipikor tidak mengatur mengenai rumusan unsur delik pembantuan," ungkapnya.
Dia menegaskan pencantuman ketentuan Pasal 56 ke-2 KUHP dalam surat dakwaan bertujuan agar surat dakwaan perkara a quo yang mendakwakan rumusan unsur pembantuan dapat dengan mudah dan jelas dipahami oleh terdakwa dan penasihat hukumnya serta pencantuman pasal 15 UU Tipikor dalam surat dakwaan adalah sebagai penerapan ketentuan khusus terhadap ancaman hukuman pidana bagi terdakwa berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali.
Untuk itu, dia menyatakan, alasan atau dalih penasihat hukum terdakwa haruslah dinyatakan ditolak dan dikesampingkan.
Sebelumnya, dalam perkara proyek PLTU Riau-1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.
KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd., dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.
KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.