Mengapa Belum Ada Satu pun Partai yang Deklarasi Jadi Oposisi Setelah Pilpres?
Menurut Hariyadi, bergabung ke pemerintahan dan mendapat jatah kursi menteri lebih rasional bagi Gerindra.
Editor: Hasanudin Aco
"PKS selama lima tahun ini jadi kekuatan penyeimbang. Konstruktif artinya, yang bagus dari pemerintah kami dukung, tapi kalau ada yang salah, kami perbaiki," tuturnya.
Bagaimanapun, partai politik dianggap bakal menanggung persoalan finansial saat menjadi oposisi, terutama dalam perpolitikan yang masih bergantung pada kekuatan patron.
Menjadi oposisi dalam waktu kurun waktu berturut-turut bukan pilihan yang rasional, termasuk bagi Gerindra, kata Dosen ilmu politik Universitas Airlangga, Haryadi.
"Tidak ada satupun partai yang merasa nyaman berjauhan dengan kekuasaan. Yang ada adalah rasa sakit secara material," ujar Hariyadi.
"Itulah mengapa setelah hitung cepat pemilu, satu per satu partai koalisi Gerindra membangun komunikasi dengan pihak Jokowi, tuturnya.
Menurut Hariyadi, bergabung ke pemerintahan dan mendapat jatah kursi menteri lebih rasional bagi Gerindra.
Meskipun berpotensi ditinggalkan kelompok penyokong seperti Persaudaraan Alumni 212, Gerindra dianggap tidak bakal goyang karena massa itu bukan konstituen murni mereka.
"Kalau Gerindra masuk kekuasaan, mereka akan lebih mudah menyiapkan diri dalam kontestasi 2024, dengan memanfaatkan instrumen kebijakan pemerintah."
"Walau akan ada pengaruh, suara kelompok seperti itu tidak signifikan karena mereka secara ideologis lebih dekat ke PKS," kata Hariyadi.
"Kalau akhirnya Gerindra menjadi oposisi, itu karena terpaksa. Itu bukan sesuatu yang diinginkan secara politik, termasuk oleh PKS. Partai masih oligarki, biaya politiknya sangat tinggi," ujarnya.