Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MAPPI FHUI: Menikahkan Korban dengan Pelaku Kekerasan Seksual Bukan Restorative Justice

Kasat Reskrim Polresta Pontianak menyatakan penyelesaian kasus tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan restorative justice.

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Choirul Arifin
zoom-in MAPPI FHUI: Menikahkan Korban dengan Pelaku Kekerasan Seksual Bukan Restorative Justice
Tribunnews.com/Theresia Felisiani
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dio Ashar 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MAPP FHUI) bersama dengan ICJR menyoroti pemberitaan di beberapa media tentang kekerasan seksual terhadap seorang santriwati berusia 16 tahun di sebuah pesantren di Kubu Raya, Kalimantan Barat akhir Juni 2019.

Perbuatan tersebut diketahui dilakukan oleh salah seorang pengurus pesantren berinisial NR.

Perkembangan per 1 Juli 2019, diketahui Kasat Reskrim Polresta Pontianak menyatakan penyelesaian kasus tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan restorative justice.

Pihak Reskrim Polresta Pontianak menjelaskan salah satu bentuk penyelesaian dengan pendekatan restorative justice dengan menikahkan pelaku dan korban.

Baca: Bebas dari Penjara, Vanessa Angel Langsung Dapat Hadiah iPhone dan Kontrak Kerja

Menyikapi itu, Dio Ashar Wicaksana, Direktur Eksekutif MAPPI FHUI menjelaskan penyelesaian dengan pendekatan restorative justice harus dengan memperhatikan kepentingan korban.

"Bahwa prosesnya harus berbasis kepentingan pemulihan bagi korban. Karena itu, ICJR dan MAPPI FHUI memandang bahwa pernikahan anak korban dengan pelaku tidak akan memberikan penyelesaian bagi pemulihan korban," ungkap Dio dalam keterangannya, Selasa (2/7/2019).

Baca: Inilah Penjelasannya, Mengapa Berat Badan Penderita Diabetes Cenderung Naik

Dio mengatakan ICJR dan MAPPI FHUI perlu meluruskan bahwa penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice adalah penyelesaian yang berbasis pemulihan bagi korban, pelaku dan masyarakat.

Berita Rekomendasi

Dalam konteks lahirnya pendekatan ini, fokus utama yang paling penting yang harus diperhatikan adalah pemulihan dan kepentingan terbaik untuk korban dan pelaku menyadari kesalahannya dan juga mendukung pemulihan korban.

Baca: Panik Hamili Adik Kandung Istri, Mikael Lakukan Aksi Bejat Ini ke Organ Intim AN Agar Bisa Aborsi

 
"Karena itu, ICJR dan MAPPI FH UI memandang bahwa pernikahan anak korban dengan pelaku tidak akan memberikan penyelesaian bagi pemulihan korban. Dalam hal ini korban merupakan usia anak, mengalami kekerasan berulang, padanya ada kondisi traumatis yang seharusnya dipulihkan yang menjadi fokus utama penyelesaian perkara," imbuh Dio.

Dio melanjutkan yang harus diperhatikan bahwa dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak (di bawah 18 tahun) tidak pernah ada persetujuan di dalamnya, anak bagaimana pun juga tidak menjadi subjek yang dapat memberikan persetujuan dalam hubungan seksual, maka pencabulan jelas terjadi dalam keadaan anak terancam yang mengakibatkan trauma.

Baca: Kasus Penghinaan Bau Ikan Asin, Fairuz A Rafiq Tolak Berdamai, Galih Ginanjar Harus Masuk Bui

Menikahkan pelaku dengan korban jelas bukan bentuk pemulihan yang sejalan dengan pendekatan restorative justice, karena lewat perkawinan, terlebih lagi korban masih anak, pemulihan tidak akan tercapai.

Penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice bukan berarti menghilangkan pertanggungjawaban pidana dan memaksakan korban untuk berdamai ataupun pemaksaan perdamaian antara pelaku dan korban.

Pendekatan ini bertujuan untuk membuat korban menjadi berdaya, bagaimana pun harus diupayakan korban memiliki dan diberikan akses terhadap keadilan sehingga mampu menyuarakan kerugiannya, yang kemudian dapat dipertimbangkan dalam penghukuman untuk pelaku.

Hak ini dapat terpenuhi dengan tersedianya hak-hak bagi korban yang mempuni, seperti hak pendampingan baik pendampingan hukum maupun pendampingan psikologis, hak atas perlindungan termasuk akses terhadap rumah aman.

Dalam hal ini korban adalah anak, perkawinan anak jelas bukan merupakan jalan untuk mengupayakan pemulihan bagi korban anak. Kepentingan pemulihan tidak akan tercapai dengan perkawinan.

"Sehingga ICJR dan MAPPI FHUI merekomendasikan yang seharusnya diupayakan oleh pihak Polres Pontianak untuk memaksimalkan diimplementasinya pendekatan restorative justice adalah dengan membuat korban berdaya dengan pertama-tama memenuhi hak-hak korban terlebih dahulu untuk memastikan korban memiliki peran dalam penyelesaian perkara, korban dapat menyuarakan kerugiannya, penghukuman bagi pelaku harus dengan mempertimbangkan kondisi korban tersebut," tegas Dio.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas