Jelang Pilkada Serentakl 2020, Kemendagri Akan Pertegas Larangan Mutasi Jabatan Demi Netralitas ASN
Netralitas ASN (aparatur sipil negara) akan dievaluasi menghadapi Pilkada serentak 2020 yang rencananya akan dilaksanakan 23 September 2020.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik mengatakan pihaknya akan mengevaluasi netralitas ASN (aparatur sipil negara) menghadapi Pilkada serentak 2020 yang rencananya akan dilaksanakan 23 September 2020.
Satu hal yang dievaluasi adalah peluang penyalahgunaan wewenang untuk pergeseran jabatan guna kepentingan dukungan politik calon petahana.
Menurutnya sekitar 78 sampai 90 persen kepala daerah dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada berpotensi maju kembali.
“Seperti yang Pak Abhan (Ketua Bawaslu) bilang ada perbedaan pemahaman terhadap mutasi apakah pengisian kekosongan jabatan atau bisa melakukan mutasi,” katanya.
Baca: Mendagri: Ada 10 Syarat Perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar FPI Belum Diserahkan
Baca: Yakin Dirinya Akan Sembuh, Ini Keinginan Sutopo Purwo Nugroho yang Belum Terwujud sebelum Wafat
Baca: Hasil Autopsi Tunjukkan Thoriq Tak Terpeleset, Ini Penyebab Kematian yang Sesungguhnya
"Hal yang dikhawatirkan adalah seorang kepala daerah melakukan pergeseran jabatan atas dasar dukung atau tidak mendukung, melakukan balas dendam karena tidak terpilih atau memberi promosi jabatan karena sudah mendukung. Tiga hal itu yang akan kita coba perbaiki regulasinya,” lanjut Akmal Malik.
Hal itu disampaikannya usai mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR RI, KPU RI, dan Bawaslu RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019).
Akmal menegaskan bahwa Mendagri Tjahjo Kumolo pernah menerbitkan surat edaran bahwa kepala daerah yang maju kontestasi Pilkada hanya bisa melakukan pengisian kekosongan jabatan dan tidak bisa melakukan pergeseran jabatan.
Baca: Penyidik KPK Telisik Aliran Dana dalam Kasus TPPU Bupati Nonaktif Hulu Sungai Tengah
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 71 dan Pasal 162 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebut pergeseran jabatan tak bisa dilakukan calon petahana selama enam bulan sebelum dan enam bulan setelah pencoblosan.
“Surat edaran itu dikeluarkan Kemendagri untuk pengisian kekosongan jabatan saja, untuk pergeseran jabatan tidak kami izinkan. Dengan aturan itu kan kita ingin menjaga netralitas ASN agar tidak dimanfaatkan, dan juga agar tidak menyalahgunakan fasilitas negara,” imbuhnya.
Lalu bagaimana jika penyalahgunaan wewenang itu dilakukan wakil kepala daerah atau pengganti sementara kepala daerah yang maju dalam kontestasi Pilkada serentak 2020?
Akmal sendiri mengatakan bahwa aturan pelarangan pergeseran jabatan oleh calon petahana di atas tak berlaku bagi wakil kepala daerah yang menggantikan calon petahana atau pejabat sementara yang ditunjuk menggantikan calon petahana itu.
Menurutnya peraturan saat ini hanya bisa mencegah mutasi atau pergeseran jabatan keluar dari prosedur yang ada.
“Misal mutasi tanpa aturan atau tanpa lelang. Kalau kita melarang wakil atau pejabat sementara itu maka melanggar aturan,” ungkapnya.
Akmal menyatakan bahwa netralitas ASN memang tengah menjadi fokus Kemendagri untuk diperbaiki tanpa melakukan revisi terhadap undang-undang mana pun.
“Nanti akan diterangkan dalam peraturan menteri atau peraturan lainnya tapi tidak dengan revisi undang-undang. Yang jelas kami di Kemendagri tengah memperbaiki tata kelola hubungan antara pusat dan daerah termasuk bagaimana mengisi kekosongan jabatan dan mutasi ASN,” pungkasnya.
Akmal pun menegaskan Kemendagri, Kemenpan-RB, KASN, dan BKN ingin memastikan netralitas ASN terus berjalan.
Usulan anggota DPR
Komisi II DPR RI menggelar rapat dengar pendapat bersama KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019).
Rapat dilakukan guna membahas rancangan PKPU (Peraturan KPU) tentang tahapan, program, dan jadwal Pilkada serentak 2020.
Dalam rapat sejumlah anggota Komisi II DPR RI mengusulkan masa kampanye diperpendek menjadi 60 hari dengan berbagai pertimbangan.
KPU RI sendiri dalam rancangan PKPU-nya tersebut mencanangkan masa kampanye Pilkada serentak 2020 selama 81 hari.
Baca: LPSK Dorong Presiden Jokowi Beri Amnesti untuk Baiq Nuril
Baca: Disebut Sengaja Permalukan Mantan Istri, Galih Ginanjar Serahkan ke Pengacara untuk Berkomentar
Baca: Politikus PDIP Ungkap Peluang Paket Calon Pimpinan MPR Berasal dari Lintas Koalisi
“Masa kampanye 81 hari terlalu lama, menurut saya 60 hari saja sudah cukup untuk menghindari pemborosan biaya baik dari partai politik, peserta Pilkada, dan anggaran negara. Serta mencegah ketegangan sosial yang kita rasakan pada Pemilu 2019 kemarin,” ungkap Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN Yandri Susanto.
Karena itu Yandri meminta pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak 2020 juga dipercepat karena masa kampanye juga diperpendek.
Pada rancangan PKPU tersebut KPU RI menetapkan tanggal 23 September 2020 sebagai tanggal pemungutan suara Pilkada serentak 2020.
“Sehingga kita juga bisa secara cepat mendapatkan hasil dari kontestasi itu,” imbuhnya.
Baca: Terawang Nasib Pernikahan Galih Ginanjar & Barbie Kumalasari, Wirang Birawa: Hidup Hukum Tabur Tuai
Menanggapi hal tersebut Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan ada dua pertimbangan.
Pertama tanggal 23 September 2020 bertepatan dengan Hari Rabu yang diyakininya meningkatkan angka partisipasi pemilih.
“KPU RI memiliki tradisi melaksanakan pemungutan suara pada Hari Rabu yang kami yakini meningkatkan partisipasi pemilih. Mengenai tanggal, KPU RI juga tak pernah memilih tanggal dengan digit satu angka dengan alasan bisa berkaitan dengan nomor urut salah satu pasangan calon nantinya,” ungkap Arif.
Ia pun mengatakan bila masa kampanye dikurangi maka berkurang pula waktu bagi KPU RI untuk melaksanakan tahapan sosialisasi.
“Termasuk waktu untuk lelang, produksi, dan distribusi logistik seperti surat suara akan berkurang. Tapi ini akan kami dalami dan bila disepakati untuk berkurang maka kami bisa lakukan hal-hal tersebut dalam tahapan lain,” katanya.
78 persen
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik menyebut 78 persen kepala daerah memiliki potensi untuk maju kembali mencalonkan diri dalam Pilkada serentak 2020.
Seperti diketahui 270 daerah akan menggelar Pilkada serentak pada 2020 mendatang.
Angka tersebuut terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
“Tujuh gubernur, tujuh wakil gubernur, 181 bupati, dan 29 wakil walikota berpotensi maju kembali di Pilkada serentak 2020, kalau dipersentasekan semuanya itu 78 persen dari total jumlah Pilkada. Sementara 221 wakil bupati dan 29 walikota juga berpotensi maju lagi atau persentasenya mencapai 90 persen,” ungkap Akmal Malik usai mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019).
Baca: Dunia Seni Jawa Timur Berduka, Seniman Rahmat Giryadi Meninggal Dunia di Sidoarjo
Baca: Ikut Tanggapi Polemik Video Ikan Asin, Elly Sugigi: Rey Utami Kayak Cuci Tangan
Baca: Lihat Reino Barack Dipukul Lawan, Aksi Syahrini di Pinggir Ring Tinju Ini Jadi Perhatian
Akmal mengatakan data potensi itu akan digunakan Kemendagri untuk mengevaluasi hal-hal terkait pelaksanaan Pilkada serentak 2020, terutama masalah netralitas ASN (aparatur sipil negara).
Menurutnya semakin besar calon petahana maju di kontestasi Pilkada maka semakin besar potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya melakukan mutasi jabatan.
“Seperti yang Pak Abhan (Ketua Bawaslu) bilang ada perbedaan pemahaman terhadap mutasi apakah pengisian kekosongan jabatan atau bisa melakukan mutasi,” terangnya.
“Yang dikhawatirkan adalah seorang kepala daerah melakukan mutasi atas dasar dukung atau tidak mendukung, melakukan balas dendam karena tidak terpilih atau memberi promosi jabatan karena sudah mendukung. Tiga hal itu yang akan kita coba perbaiki regulasinya,” imbuh Akmal Malik.
Akmal menegaskan bahwa Kemendagri sendiri sudah pernah menerbitkan surat edaran bahwa kepala daerah yang maju kontestasi Pilkada hanya bisa melakukan pengisian kekosongan jabatan dan tidak bisa melakukan mutasi jabatan.
Baca: Cerita SMP Swasta di Surabaya Hanya Dapat 2 Murid Baru, Penambahan Pagu Akibat Demo Ortu Disoroti
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 71 dan Pasal 162 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebut mutasi jabatan tak bisa dilakukan calon petahana selama enam bulan sebelum dan enam bulan setelah pencoblosan.
“Surat edaran itu dikeluarkan Kemendagri untuk pengisian kekosongan jabatan saja, untuk pergeseran jabatan tidak kami izinkan. Dengan aturan itu kan kita ingin menjaga netralitas ASN agar tidak dimanfaatkan, dan juga agar tidak menyalahgunakan fasilitas negara,” katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.