5 Fakta Perjalanan Kasus Baiq Nuril, Berawal Telepon Asusila dari Atasan hingga Penolakan PK oleh MA
Berikut 5 fakta perjalanan kasus Baiq Nuril, berawal telepon asusila dari atasan hingga penolakan PK oleh MA.
Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
Yati meminta hakim untuk membebaskan Nuril dari penahanan dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum.
27 Juli 2017, Nuril divonis bebas oleh PN Mataram dan tidak terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE.
Namun, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada 26 September 2018, Mahkamah Agung memutuskan Nurul bersalah melakukan tindakan pidana rekaman perbincangan perbuatan asusila kepala sekolahnya.
Selain itu, pada 16 November 2018, surat panggilan untuk Nuril dikeluarkan.
Dalam surat tersebut Nuril harus menghadap Jaksa Penuntut Umum pada 21 November 2018.
3. Undang simpati banyak orang
Gelombang penolakan terhadap penahanan kembali Nuril bergulir di masyarakat.
Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril membuat petisi daring di laman change.org terhadap Presiden RI Joko Widodo untuk memberi amnesti bagi Baiq Nuril.
Petisi tersebut digagas oleh sekelompok orang dengan berbagai latar belakang, termasuk para artis dan aktivis.
Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, dalam petisinya menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Nuril bersalah atas penyebaran percakapan asusila atasannya.
Selain diputus bersalah oleh MA, Nuril juga dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.
Sementara itu di Mataram, tempat tinggal Nuril, seratusan simpatisan yang tergabung dalam Solidaritas untuk Nuril , Minggu (18/11/2018), menggelar aksi tolak eksekusi terhadap Nuril, di Jalan Udayana Mataram.
Dalam aksi itu, Nuril turut hadir.
Ia menangis saat berada di tengah-tengah massa aksi yang mendukungnya.
Nuril tak mengeluarkan sepatah kata pun, dia hanya terdiam.
Tiba-tiba, Nuril lemas memegang kedua kepalanya dan sejumlah orang membawa perempuan yang memiliki tiga anak itu untuk menenangkan diri.
19 September 2018 Nuril melaporkan Muslim, mantan atasannya yang saat itu menjabat sebagai kepala Bidang Pemuda dan Olahraga Kota Mataram ke polisi.
Muslim kemudian diperiksa pada Selasa (27/11/2018) malam selama 8 jam.
Dari pantauan Kompas.com, Muslim terlihat bingung dan beberapa kali memegang kepalanya dan bersandar di kursi.
Sayangnya, karena dinilai tak cukup bukti, laporan Baiq Nuril Maknun atas tindakan dugaan pelecehan seksual secara verbal oleh mantan atasannya atau mantan kepala SMA 7 Mataram, Muslim ke Polda NTB, dihentikan.
"Karena minimnya saksi dan petunjuk yang dapat membantu mengungkap peristiwa sebagaimana yang dilaporkan, sehingga perkara tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan," ujar Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati kepada Kompas.com usai gelar perkara terkait laporan Nuril, Rabu (17/1/2018).
Pujawati juga mengatakan bahwa pihaknya kesulitan mencari unsur perbuatan cabul seperti yang dilaporkan Nuril dan kuasa hukumnya.
"Kami juga tidak menemukan pemenuhan unsur perbuatan cabul. Berdasarkan ahli pidana, fakta peristiwa tersebut belum memenuhi unsur," katanya.
Laporan resmi Nurul resmi dihentikan Polda Nusa Tenggara Barat pada 28 Januari 2019.
5. Penolakan PK oleh MA
4 Juli 2019, MA menolak PK yang diajukan Nuril dan kuasa hukumnya pada 3 Januari 2019.
Kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi mengatakan jika Nuril terpukul mendengar keputusan MA yang menolak peninjauan kembali kasusnya.
"Bagaimanapun dia sedih lah menerima putusan MA ini, tetapi keyakinan Nuril bahwa dia tidak bersalah. Meskipun MA menganggapnya bersalah dengan ditolaknya peninjauan kembali (PK)," kata Joko.
Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net), Damar Juniarto, mendesak Jokowi agar segera dan secara proaktif memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun.
Amnesti ini dinilai mendesak setelah Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Nuril yang sebenarnya merupakan korban pelecehan seksual.
"Sekaranglah saat yang tepat bagi Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas tertinggi negara untuk menghadirkan keadilan bagi seorang warganya, dengan memberikan amnesti.
Langkah ini tidak harus menunggu korban untuk mengajukannya," kata Damar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/7/2019).
Damar juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat segera memberi pertimbangan kepada Presiden mengenai perlunya amnesti sesuai Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Sementara itu, Jokowi enggan mengomentari putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril dalam kasus perekaman ilegal.
Namun, Jokowi mengatakan sejak kasus ini mencuat, perhatiannya tidak pernah berkurang.
Kendati demikian, ia menghormati putusan MA.
"Saya tidak ingin komentari apa yang sudah diputuskan mahkamah karena itu pada domain wilayahnya yudikatif," kata Jokowi di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (5/7/2019), dikutip Tribunnews dari Kompas.com.
Namun, Jokowi berjanji menggunakan kewenangannya apabila Baiq Nuril mengajukan grasi atau amnesti yang merupakan kewenangan Kepala Negara.
"Nah nanti kalau sudah masuk ke saya, di wilayah saya, akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki. Saya akan bicarakan dulu dengan Menkumham, Jaksa Agung, Menko Polhukam, apakah amnesti atau yang lainnya," kata dia.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia/Kompas.com)