Peradi dan Komnas Perempuan Desak DPR Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Komnas Perempuan mencatat angka perkosaan dalam perkaqiman yang memiliki hubungan darah meningkat pesat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Pusat TM Mangunsong SH dan Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu SH mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, sebelum DPR periode 2014-2019 habis masa jabatannya per 1 Oktober 2019.
“Amnesti Baiq Nuril itu momentum bagi DPR untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar TM Mangunsong di Jakarta, Jumat (26/7/2019), yang diamini Azriana.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pemberian amnesti untuk Baiq Nuril Maqnun, korban pelecehan seksual yang dijatuhi hukuman karena merekam aksi pelaku.
Amnesti disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, di Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Baca: Komnas Perempuan Kawal Berbagai Bentuk Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Bekerja sama dengan Komnas Perempuan, Rabu (24/7/2019), DPC Peradi Jakarta Pusat menggelar Forum Discussion Group (FGD) bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam rangka Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual”.
TM Mangunsong dan Azriana R Manalu tampil sebagai pembicara.
Laporan Baiq Nuril terhadap atasannya, M, lamban diproses polisi.
Salah satu penyebab lambannya proses penyidikan kasus pelecehan seksual tersebut, kata Mangunsong, bisa jadi karena hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih belum memberikan panduan yang jelas kepada penegak hukum bagaimana penanganan kasus pelecehan seksual yang efektif dan melindungi hak hukum si korban.
Demikian juga berdasarkan laporan Komnas Perempuan, kata Azriana, ternyata kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sangat signifikan sehingga bisa dikatakan “Indonesia darurat kekerasan seksual.”
Azriana mencatat, angka perkosaan dalam perkawinan atau perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah (martial rape), mengalami peningkatan.
Pelaporan kasus Martial Rape mencapai 195 kasus pada 2018. Kasus incest cukup tinggi, yakni 1.071 kasus di 2018.
Menanggapi fakta tersebut, Mangunsong dan Azriana mendesak DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU.
“Pentingnya segera disahkan adalah untuk melindungi pihak-pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual, yaitu perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki, serta kelompok disabilitas,” tegas Manungsong.
Dengan terlindunginya perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki serta kekompok disabilitas dari kekerasan seksual, lanjut Mangunsong, tentunya anak-anak dapat tumbuh berkembang dengan baik dalam bimbingan keluarga dan lingkungannya sehingga dapat menjadi generasi penerus bangsa yang sehat fisik dan psikisnya.
“Dengan segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini berarti kita melindungi kekuarga dari kejahatan kekerasan seksual, dan negara harus menjamin warganya bebas dari kejahatan kekerasan seksual,” paparnya.
Azriana menambahkan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan melindungi para korban kekerasan seksual.
“UU itu nantinya bakal membuka akses yang cukup bagi korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan,” cetusnya.
“Kalau kita lihat, perlindungan dari kekerasan seksual yang ada di KUHP belum lengkap. Desakan pengesahan ini berangkat dari fenomena ada hambatan di mana perempuan korban kekerasan seksual tidak mendapatkan akses yang cukup untuk mendapatkan keadilan,” lanjut Azriana.
”Korban kekerasan seksual yang tak mendapat akses keadilan bakal mengalami dampak serius. Dampak itu bisa berupa fisik atau pun psikis. Akan terjadi fiktimisasi. Ini dampak khas dari kekerasan seksual,” tandas Mangunsong.