Tunda Pengesahan RUU Pertanahan Karena Pembahasan Cenderung Eksklusif
RUU Pertanahan harus ditunda dan dikembalikan kepada semangat yang terkandung dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Dukungan dari kalangan akademisi Fakultas Kehutanan terus bertambah agar DPR-Pemerintah membahas ulang RUU Pertanahan dan tidak mengesahkannya pada DPR periode ini.
Prof. Dr. Ida Nurlinda SH MH, guru besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Unpad, Bandung yang menyatakan sangat setuju bila RUU Pertanahan ditunda.
“RUU Pertanahan harus ditunda dan dikembalikan kepada semangat yang terkandung dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, di mana pada hakekatnya penyusunan RUU Pertanahan memperhatikan prinsip-prinsip pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 dan arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” papar Prof Ida Nurlinda, Sabtu (27/7/2019) menanggapi arus besar masyarakat yang ingin RUU Pertanahan ditunda dahulu.
Lebih lanjut dikemukakan Ida Nurlinda, RUU Pertanahan merupakan RUU yang inisiatif DPR dan diinisiasi sudah cukup lama yakni tahun 2012.
Pada awalnya substansi pengaturannya tidak melebar seperti saat ini. Namun setelah DIM pemerintah masuk, ruang lingkup pengaturan RUU Pertanahan menjadi sangat melebar.
Baca: Kasus Kemah Pemuda, Polisi Bakal Panggil Lagi Ahmad Fanani Pekan Depan
“Substansi pengaturan yang melebar seharusnya pembahasan, penggodokkannya melibatkan banyak pihak yang terkait dengan substansi pengaturan tersebut. Namun kenyataannya pembahasan RUU ini cenderung eksklusif tidak melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait secara maksimal. Tidak saja partisipasi di interen pemerintah yang kewenangannya terkait/bersinggungan dengan aspek pertanahan, akan tetapi juga diinteren DPR itu sendiri,” ujarnya.
RUU Pertanahan lanjut Ida, dimaksudkan untuk melengkapi dan memperkuat UUPA, dimaksudkan sebagai lex spesialis dari UUPA yang merupakan lex generalis nya.
Namun substansinya justru banyak hal yang bertentangan dengan UUPA, sehingga melemahkan kedudukan UUPA itu sendiri. Misalnya pemberian HGU yang didahului dengan pemberian hak pengelolaan.
Hal ini jelas tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Dalam PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, pengertian tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Demikian juga halnya dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara.
Contoh lain, misalnya memberikan hak pengelolaan pada kawasan hutan. Tentu hal ini dapat merubah tatanan sistem hukum sumber daya alam, karena secara prinsip hal ini berbeda.
Pada hukum kehutanan kita berbicaranya dalam perspektif kawasan, sedangkan hak pengelolaan tentu kita berbicara dalam konteks tanah sebagai suatu hamparan/permukaan bumi sebagaimana ditegaskan dalam UUPA.
Picu Ketimpangan
Mencermati materi RUU Pertanahan, Ida Nurlinda mengatakan, perspektif kawasan juga keliru jika diatur dalam UU Pertanahan karena tidak sejalan dengan pengertian tanah yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (2) UUPA.
Contoh lainnya adalah adanya pengaturan mengenai bank tanah pada RUU Pertanahan. Sejatinya bank tanah dapat melemahkan program reforma agraria (redistribusi tanah), karena tanah yang menjadi objek reforma agraria, kurang lebih sama dengan tanah yang menjadi sumber bank tanah. Misalnya tanah terlantar.
Hal ini justru bertentangan dengan prinsip tanah berfungsi sosial sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA dan dapat memicu ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya justru menjadi tujuan utama reforma agraria untuk menata ulang penguasaan dan pemilikan tanah tersebut.
Hal diatas kata Ida Nurlinda, merupakan contoh-contoh kecil dari ketidak konsistenan RUU Pertanahan sebagai lex spesialis dari UUPA. Hal demikian tentu dapat menimbulkan konflik, baik konflik ditataran peraturan perundang-undangan yang akan berpengaruh pada keajegan sistem hukum nasional, maupun konflik ditataran pelaksanaannya karena ketidak tegasan peraturan tersebut.
“Konflik juga berpotensi timbul dalam hal benturan kepentingan dan/atau kewenangan antar instansi pemerintah. Antara Kementerian ATR/BPN dengan kementerian lain yang kewenangannya bersinggungan. Hal ini dapat membuat pemerintahan menjadi tidak efektif,” tegas guru besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Unpad, Ida Nurlinda.
Di samping itu katanya lagi, objek pendaftaran tanah yang meliputi bidang tanah dan kawasan di seluruh Indonesia tentunya berpotensi menimbulkan konflik kewenangan dalam pelaksanaannya, termasuk semua izin dan/atau konsesi yang wajib dipetakan dan diintegrasikan dalam sistem pemetaan nasional.