Rocky Gerung: Para Elite Politik Enggan Beroposisi Karena Takut Dianggap Pecundang
Rocky Gerung menyebut dewasa ini, para elite politik di Indonesia sebagian besar masih merasa bahwa kedudukan oposisi di bawah derajat kubu pemerintah
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usai Joko Widodo-Maruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU RI, beberapa partai politik yang sebelumnya berada di kubu oposisi, mulai bermanuver merapat ke kubu pemerintah.
Sebut saja PAN, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat yang sudah tebar pesona kepada Jokowi-Ma'ruf.
Menanggapinya, pengamat politik Rocky Gerung menyebut dewasa ini, para elite politik di Indonesia sebagian besar masih merasa bahwa kedudukan oposisi di bawah derajat kubu pemerintahan.
Padahal menurutnya, jika di luar negeri kedudukan oposisi setara Perdana Menteri.
Baca: Gempa Bumi 7,4 SR Guncang Banten: Ini Hal-hal yang Harus Dilakukan Pasca Gempa Terjadi
Baca: Kesaksian Warga Banten Saat Diguncang Gempa: Pohon Goyang Kencang Banget, Warga Lari Keluar Rumah
Baca: Gempa 7,4 Magnitudo di Banten Berpotensi Tsunami, Warga: Allahu Akbar
"Itu masalahnya. Karena orang merasa beroposisi itu nomor dua. Padahal oposisi itu setara dengan perdana menteri kalau di luar negeri," ungkap Rocky usai diskusi bertajuk 'Oposisi Tugas Suci Amanat Rakyat 2019' di Padepokan Pencak Silat, Jakarta Timur, Jumat (2/8/2019).
Berkenaan dengan itu, Rocky mengatakan selama satu minggu ke belakang, banyak elite politik berlomba menerjemahkan apa fungsi oposisi.
Kedudukan oposisi dalam membangun negeri ia nilai masih menjadi momok yang ditakuti kalangan elite.
Bahkan, masih ada yang beranggapan bahwa kedudukan oposisi adalah pecundang pencari masalah.
"Padahal itu hal yang normal dalam demokrasi. Jadi seolah-olah orang takut untuk beroposisi, karena dianggap sebagai pecundang, dianggap sebagai orang kalah yang nyari gara-gara," ujar dia.
Lebih lanjut Rocky berpandangan, demokrasi tidak memerlukan persatuan.
Yang diperlukan ialah bagaimana negara bersistem demokrasi, mengolah kemampuan dari perbedaan-perbedaan tersebut.
"Saya terangkan, bahwa demokrasi itu tidak memerlukan persatuan. Demokrasi memerlukan kemampuan mengolah perbedaan," katanya.
Jangan gabung