Listrik Sempat Padam saat Tiga Direktur PLN sedang Jadi Saksi di Sidang Suap Sofyan Basir
Sidang digelar di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (5/8/2019) pagi.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang kasus suap perkara PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (persero), Sofyan Basir.
Sidang digelar di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (5/8/2019) pagi.
Pada saat sidang pemeriksaan saksi itu sedang berjalan, tiba-tiba lampu di ruangan sidang mati. Berdasarkan pemantauan, lampu di ruang sidang itu mati sekitar tiga detik pada pukul 11.28 WIB.
Meskipun, tidak memakan waktu lama, jalannya persidangan itu sempat terganggu. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menghentikan pertanyaan kepada saksi yang dihadirkan.
Sementara itu, beberapa pengunjung sidang saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain mengomentari mati lampu tersebut.
Baca: Listrik Mati, Gubernur Anies Minta Warga Waspadai Makanan dan Minuman Basi
Baca: PLN Targetkan Listrik Kembali Normal Pada Senin Malam
Sebelumnya, sidang perkara suap proyek PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa Sofyan Basir, mantan Direktur Utama PT PLN (persero) digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (5/8/2019) ini.
Sidang beragenda mendengarkan keterangan saksi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menghadirkan tiga orang saksi yang merupakan petinggi dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
"(Saksi,-red) Muhammad Ahsin Sidqi, Muhamad Ali dan Sarwono Sudarto," ujar JPU pada KPK Lie Setiawan, Senin (5/8/2019).
Pada saat ini, Ahsin Sidqi menjabat Dirut Indonesia Power. Indonesia Power sendiri merupakan anak usaha PLN. Saat proyek PLTU Riau-1 akan digarap, Ahsin Sidqi menjabat Kepala Divisi Independent Power Producer (IPP) PLN.
Sementara Muhamad Ali merupakan Direktur Human Capital Managemen PT PLN yang sempat menjadi Plt Dirut PLN beberapa pekan lalu. Sedangkan Sarwono merupakan Direktur Keuangan PT PLN.
Sebelumnya, dalam perkara proyek PLTU Riau-1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.
KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd., dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.
KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Sofyan Basir, Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif, mengatur pertemuan untuk membahas pemufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.
Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo, dengan jajaran Direksi PT PLN.
JPU pada KPK menjelaskan, Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran Direksi PT PLN untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa oleh Kotjo.
Padahal, kata JPU pada KPK, terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, sehingga Eni, selaku anggota Komisi VII DPR RI dan Idrus menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 Miliar.
Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Ataupun pada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 11 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.