Kominfo Dukung RUU Keamanan & Ketahanan Siber untuk Lengkapi UU ITE
Menurut Riki, memang diperlukan penjelaskan kepada publik apa beda UU ITE yang telah ada dengan RUU KKS.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo RI) mendukung untuk pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, terutama untuk pengamanan critical infrastructure dan melengkapi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Riki Arif Gunawan, Plt Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementrian Kominfo mengatakan hal tersebut pada sebuah acara diskusi publik bertema “Meneropong Arah Kebijakan Keamanan Siber Indonesia” yang diadakan di Gedung Perpustakaan Nasional, Jl. Medan Merdeka Selatan Nomor 11, Jakarta, Rabu (07/08/2019).
Menurut Riki, memang diperlukan penjelaskan kepada publik apa beda UU ITE yang telah ada dengan RUU KKS.
“Memang ada istilah yang membingungkan yaitu di UU ITE ada informasi elektronik lalu sekarang kita mengenal siber. Nah ini harus dijelaskan kepada publik mapping nya seperti apa,” ujarnya.
Baca: Serangan Siber Meningkat, DPR Diminta Sahkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Tahun Ini
Ia menambahkan, meskipun telah ada UU ITE namun Kominfo berpendapat ada hal yang yang belum bisa dijalankan dengan sangat baik, yakni pengamanan "critical infrastructure."
“Ini pengamanannya harus jauh lebih baik daripada sekedar pengamanan biasa dibandingkan penyelenggara sistem elektronik. Jadi kita perlu sebuah kriteria yang lebih baik lagi, lebih aman lagi dari sekedar membuat pengamanan yang utuh dan sudah ada di UU ITE,” ujarnya.
Tidak Tumpang Tindih
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang nomor 11 tahun 2008 (UU ITE), diatur mengenai transaksi elektronik, yang mencakup perniagaan elektronik.
Pengaturan tersebut meliputi pembuktian keabsahan dari bukti transaksi elektronik, hak dan kewajiban dari para pihak dalam transaksi elektronik, pengawasan, sanksi, dan hal-hal lainnya.
Sedangkan dalam RUU KKS, yang terdiri dari 77 pasal dan 13 bab, ruang lingkup pengaturan lebih kepada bagaimana negara berupaya untuk mampu melaksanakan keamanan dan ketahanan, dan perlindungan siber di Indonesia, seperti melakukan deteksi, identifikasi, proteksi, penanggulangan, pemulihan, pemantauan, serta pengendalian pada objek-objek keamanan siber.
“Jadi intinya kami di Kominfo sangat mendukung UU [Keamanan dan Ketahanan] Siber ini. Yang perlu kita perhatikan 'overlap' karena sayang kalau UU overlap malah jadi kebingungan pada akhirnya,” ujarnya.
Ronald Tumpal, Direktur Proteksi Pemerintah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yang juga hadir pada acara yang sama di Gedung Perpustakaan Nasional mengatakan RUU KKS adalah ‘the Series of Cyber Law yang harus dimiliki Indonesia.
RUU ini penting untuk segera disahkan pada periode DPR RI 2014-2019 untuk mengantisipasi dan memitigasi resiko keamanan siber agar kepentingan nasional Indonesia tetap terjaga senantiasa terlindungi.
“Maka pemilihan kata siber bertujuan melindungi seluruh bangsa dan negara Indonesia termasuk aset-aset yang penting bagi hajat hidup orang banyak dan menjadi kepentingan nasional Indonesia,” kata Ronald.