Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ahli Hukum Tata Negara: Kok Ngotot Betul Hidupkan GBHN

Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti heran kenapa Partai Indonesia Demokrasi Perjuangan (PDI-P) begitu ngotot mengembalikan GBHN.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Ahli Hukum Tata Negara: Kok Ngotot Betul Hidupkan GBHN
Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019). 

Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti heran kenapa Partai Indonesia Demokrasi Perjuangan (PDI-P) begitu ngotot mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dikemas lewat amandemen UUD 1945.

Padahal menurut Bivitri Susanti, GBHN tidak punya implikasi signifikan tehadap hukum, lantaran tak ada keterlibatan praktis yang bisa dirasakan langsung rakyat.

"Kok ngotot betul untuk punya satu dokumen yang bernama GBHN, dengan segala kritik ternyata nggak ada implikasi hukum, tapi pengen diadakan," ucap Bivitri Susanti dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).

Baca: Markus Nari Didakwa Merintangi Proses Hukum Kasus e-KTP

Baca: Jauh Lebih Mahal dari Milik Mayangsari, Inilah Tas Belanja Kylie Jenner yang Terbuat dari Plastik

Baca: Yuk, Intip Simulasi Kredit Yamaha NMAX 155 ABS, Angsuran Tak Sampai Rp 1,5 Juta

Publik harus kritis terhadap kepentingan di balik amandemen UUD 1945 pada era pemerintahan sekarang.

Sebab amandemen tahun 1999-2002 dilakukan karena ada gerakan murni dari rakyat yang menuntut lewat demonstrasi besar-besaran.

Selain punya tujuan menjatuhkan Presiden Soeharto ketika itu, satu dari enam tuntutan mahasiswa yang berunjuk rasa juga menuntut amandemen UUD 1945.

Berita Rekomendasi

Menurutnya, awal dari amandemen tahun 1999-2002 seluruhnya murni tuntutan rakyat.

Kemudian Bivitri bertanya, wacana amandemen yang hangat dibicarakan beberapa hari belakangan, apakah punya kepentingan serupa yakni atas nama rakyat atau cuma berdasar pada kepentingan segelintir elite politik saja.

Baca: Kisah Meyssie, Pegawai Honorer yang Nekat Gelapkan Uang Rp 2,1 Miliar Demi Bisa Beli Barang Mewah

"Beneran tuntutan rakyat apa segelintir orang dari hasil Kongres atau hasil kajian ahli?" ujar Bivitri.

Bila kepentingan amandemen memang bukan memihak kepada rakyat, maka semestinya publik harus bersikap dan jangan nurut saja terhadap sesuatu yang dihasilkan oleh para elite politik.

"Kita mesti punya sikap. Jangan diikuti saja apa yang dihasilkan oleh elite politik," tegas dia.

Respons Jusuf Kalla

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambut baik wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Namun Jusuf Kalla memberikan catatan, jika wacana itu serius diterapkan, tidak mengubah sistem ketatanegaraan yang telah ada.

"Kalau hanya GBHN secara prinsip itu bagus. Asal jangan mengubah seluruh sistem lagi," ujar Jusuf Kalla di kantor Wapres RI, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).

Bagi Jusuf Kalla secara prinsip dengan adanya GBHN terdapat satu pedoman pembangunan yang berkesinambungan dalam jangka panjang.

Baca: Menara Seluler Ambruk Timpa Sekolah Dasar, 8 Siswa Alami Luka

Baca: Walikota Solo: Gibran Maju Walikota? Belajar Dulu! | Putra Jokowi Masuk Bursa Walikota - AIMAN (3)

Baca: Berenang di Gua, Supermodel Heidi Klum Didenda Rp 95 Juta

Meski di sisi lain, pemerintah sendiri kini memiliki rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).

RPJMN disusun presiden dari hasil kampanye, sementara GBHN oleh MPR.

Sehingga, menurut dia tidak menutup kemungkinan jika GBHN dan RPJMN dikolaborasikan.

"Ya program bersama. Kita setuju ada kesepakatan bersama. Jadi terbalik. Nanti presiden, dalam kampanye; Saya bisa menjalankan GBHN dengan cara begini, begini. Sekarang terserah masyarakat. Kesepakatan dulu baru terpilih, atau janji kampanye jadi rencana," kata Jusuf Kalla.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan Indonesia memerlukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) agar pembangunan tidak terputus dan negara secara luas harus memiliki rencana jangka panjang.

Baca: Jelang Persib vs Borneo FC Liga 1 2019, Gelandang Maung Bandung Ingin Rusak Rekor Musuh

Baca: TERBONGKAR Pabrik Tambang Merkuri Ilegal Berkedok Gudang di Sidoarjo, Hasilnya Dipasok ke Luar Jawa

Ditemui di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (12/8/2019) Tjahjo menjelaskan perencanaan jangka panjang sudah dibuat sejak pemerintahan Presiden ke-1 RI Sukarno hingga Presiden ke-2 RI Soeharto.

"Jangan sampai terputus kesinambungan dan perencanaan jangka panjang, ya perlu GBHN," ungkap Tjahjo.

Tjahjo menjelaskan GBHN berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). 
Menurutnya, rencana pembangunan secara umum nanti bakal dijabarkan dalam GBHN.

Respons Ketua DPR

Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai perlu dilakukan kajian lebih dalam, terkait wacana penghidupan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Jadi apakah GBNH ini perlu atau tidak, ini harus kita kaji melibatkan seluruh rakyat, akademisi juga karena begitu kita putuskan maka akan mengikat puluhan tahun ke depan," ucap Bamsoet di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Menurut Bamsoet, kajian yang melibatkan seluruh rakyat dan sejumlah pemangku kepentingan, nantinya akan melihat dinamika ekonomi dan politik secara global yang berubah sangat cepat, berbeda dengan era 20 tahun atau 50 tahun yang lalu.

"Dinamika ekonomi politik global itu sangat cepat, apakah ini masih tepat kita menggunakan platform GBHN? Karena dunia setiap hari berubah," ucap Bamsoet.

Baca: Bamsoet Usul Presiden Dipilih MPR, Pengamat: Itu Sama Saja Merampas Hak Demokrasi Publik

Baca: Anak Fairuz A Rafiq Dibully Kasus Ikan Asin, Barbie Kumalsari Ogah Kasih Tahu Galih Ginanjar

"Ini akan terjawab kalau kita melakukan kajian-kajian dengan melibatkan seluruh rakyat, stakholder," sambungnya.

Namun Bamsoet akan mendukungnya jika menang nantinya masyarakat menginginkan penghidupan GBHN kembali. Tetapi, jika tidak direstui masyarakat karena sudah tidak sesuai kondisi saat ini, maka parlemen tidak mendukung.

"Sehingga, sebaiknya pendalaman dan kajian soal GBHN. Meskipun suara-suara makin nyaring sekarang ini walau makin nyaring bahwa dunia ini berubah," papar Bamsoet.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas