LBH-YLBHI Soroti Pidato Presiden Jokowi tentang Hukum
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti pidato Presiden, Joko Widodo
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti pidato Presiden, Joko Widodo, yang disampaikan di Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2019.
Menurut Direktur YLBHI Asfinawati, pidato Presiden di Sidang Tahunan 2019 masih jauh dari kenyataan yang dihadapi rakyat. Setidaknya terdapat enam hal disoroti terutama di bidang penegakan hukum.
"Pidato penuh kondisi positif yang telah dicapai berbagai lembaga, tetapi kenyataan sehari-hari yang dihadapi masyarakat tidak demikian. Hal ini menunjukkan pidato bersifat formalistis, mengedepankan konsolidasi kekuasaan dibandingkan kesejatian kewajiban yang harus dilakukan pemerintah," kata dia, dalam keterangannya, Minggu (18/8/2019).
Menyebutkan Indonesia sebagai “rumah besar yang nyaman untuk semua” sungguh-sungguh menyakiti hati masyarakat yang digusur rumah dan sawah baik untuk infrastruktur, tambang atau perusahaan.
Dia menegaskan pernyataan ini juga menolkan pengalaman kelompok minoritas keagamaan, keyakinan serta etnis seperti Papua, orang disabilitas, orang dengan orientasi seksual serta gender berbeda yang mengalami diskriminasi di setiap fase kehidupan.
Menyebutkan “dalam rumah besar ini semua anak bangsa bisa berkarya, bergerak dan berjuang untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita bersama”. Dia menilai pada kenyatannya sangat jauh dari kenyataan yang dihadapi buruh dan serikat buruh di seluruh Indonesia.
Baca: Jokowi Lakukan Hal Tak Biasa Saat HUT Kemerdekaan RI, Presiden Turun dan Salami Komandan Upacara
"Mereka mengalami perampasan upah layak, dipecat karena berserikat, bahkan dikriminalisasi karena aksi damai untuk memperjuangkan hak-hak yang tercantum dalam undang-undang," ungkapnya.
Sementara itu, mengenai inovasi dan upaya reformasi pengadilan, rakyat dan advokat yang pernah berperkara ke pengadilan akan mengetahui pungli masih di mana-mana, permintaan menyogok datang begitu perkara masuk ke pengadilan dan ini menghambat akses masyarakat terhadap keadilan.
"Bahkan tidak jarang pengadilan menjadi alat untuk merampas hak rakyat dan sarana impunitas," kata dia.
Selain itu, hal mencolok di pidato ini adalah Presiden tidak menyebut sama sekali kepolisian dan kejaksaan padahal kata “peradilan” muncul di sana sini. Seolah presiden memposisikan peradilan hanyalah pengadilan.
Tentu saja kepolisian dan kejaksaan merupakan bagian penting dalam proses peradilan. Suatu kasus (pidana) tidak mungkin masuk ke pengadilan tanpa melalui 2 institusi ini.
Dia mengungkapkan banyak catatan masyarakat kriminalisasi berbagai hak melalui proses peradilan masih banyak terjadi demikian pula salah tangkap dan tuntut. Perempuan, masyarakat adat, kelompok minoritas agama atau keyakinan, buruh, petani, mahasiswa adalah saksi kriminalisasi ini.
"Penyiksaan dalam proses penyidikan terus terjadi dan tidak ada proses hukum. Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, serta kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil umumnya masih mandek dalam proses di kepolisian," ujarnya.
Terakhir, kinerja DPR membuat UU berpotensi merampas hak rakyat, seperti UU ITE, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, RUU Minerba dan sebaliknya tidak membuat UU melindungi rakyat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat dibalik di pidato ini menjadi sebuah keberhasilan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kinerja lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY), pada pidato kenegaraan.
Menurut dia, pengelolaan ketiga lembaga tersebut sudah dilakukan secara transparan dan akuntabel. Selain itu, untuk mempermudah pencari keadilan telah dilakukan sejumlah terobosan.