Lembaga BPK Harus Lakukan Perubahan Revolusioner
sampai hari ini, kepedulian rakyat terhadap BPK masih belum tinggi. Salah satu indikatornya adalah saat proses pemilihan anggota BPK.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai masih belum memiliki nilai yang strategis jika tidak ada perubahan yang revolusioner. Terutama dalam penerapan strategi dan visi dalam merespon situasi mutakhir.
Hal ini mencuat dalam diskusi Dialektika yang digelar LSIN di Dapoer Ciragil, Jaksel, Senin (19/8), dengan pembicara mantan Ketua DPD RI yang sekarang menjadi Ombudsman Indonesia, La Ode Ida dan mantan auditor utama BPK yang juga mantan Dubes RI untuk WTO Geneva, Syafri Adnan Baharuddin.
Dalam diskusi, Syafri Adnan yang pernah menjadi auditor utama BPK melihat bahwa sampai hari ini, kepedulian rakyat terhadap BPK masih belum tinggi. Salah satu indikatornya adalah saat proses pemilihan anggota BPK.
“Coba kita perhatikan, dalam pemilihan capim KPK, respon publik begitu tinggi. Ini berbeda dengan pemilihan anggota BPK,” kata Syafri.
Padahal, kata Syafri, KPK adalah lembaga ad hoc yang keberadaannya dibutuhkan dalam tertentu.
Baca: Rusuh di Manokwari, Kominfo Akui Batasi Internet untuk Tangkal Hoax
“Ini sangat berbeda dengan BPK yang keberadaannya ada di dalam konstitusi kita. Artinya, sebagai lembaga, BPK akan tetap ada sepanjang republik ini ada,” katanya.
Dalam diskusi dengan tema “Revolusi Mental Mengelola Keuangan Negara Secara Good Governance” juga terungkap bahwa BPK lebih identik dengan produk auditnya, terutama hasil audit dengan opini WTP.
Dalam paparannya, Syafri Adnan tidak membantah, bahwa sebagai lembaga pengawas keuangan, memang BPK diamanatkan untuk melakukan pengawasan keuangan. Karenanya, hasil audit sering kali dijadikan acuan bagi pengelolaan keuangan lembaga atau instansi pemerintah, juga pemerintah daerah.
“Padahal, yang harus diketahui oleh publik adalah: opini atas pemeriksaan laporan keuangan yang disampaikan oleh auditor adalah penilaian atas “kewajaran” laporan keuangan tersebut. Bukan sebuah penilaian atas “kebenaran” dari laporan keuangan tersebut,” kata Syafri.
Sehingga, tidak bisa kemudian diasumsikan bahwa ketika ada suatu lembaga atau instansi pemerintahan, atau pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas audit BPK, dinilai telah berhasil dalam mengelola keuangannya.
Baca: Lapas Sorong Terbakar, Jumlah Napi Kabur Belum Teridentifikasi
“Itu adalah penilaian atas kewajaran laporan keuangannya. Tapi, itu belum menentukan kebenaran atas pengelolaan uang negara itu sendiri,” kata Syafri.
Karena itu, dalam diskusi tersebut, Syafri Adnan menegaskan bahwa BPK ke depan perlu langkah dan perubahan yang mendasar. “Apa yang dilakukan oleh auditor keuangan negara di negara-negara lain saat ini, arahnya sudah lebih maju. Yaitu penilaian atas kinerja keuangan,” katanya.
Syafri menegaskan bahwa inilah yang menjadi strategi dan langkah baru di seluruh dunia.
“Pemeriksaan kinerja adalah Supreme Audit Board. Ini adalah pemeriksaan tertinggi atas pengelolaan keuangan negara,” tegasnya.