Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Amnesty International Indonesia Tanggapi Vonis Kebiri Kimiawi Pelaku Pemerkosaan 9 Anak di Mojokerto

Usman sangat menentang segala bentuk tindakan pelecehan seksual hingga kekerasan seksual terhadap anak

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Amnesty International Indonesia Tanggapi Vonis Kebiri Kimiawi Pelaku Pemerkosaan 9 Anak di Mojokerto
KOMPAS IMAGES
Usman Hamid 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menanggapi terkait vonis kebiri kimiawi yang dijatuhkan Pengadilan Jegeru Mojokerto kepada seorang terdakwa pelaku pemerkosaan terhadap sembilan anak di Mojokerto.

Usman menilai, pemberlakuannya secara hukum tanpa persetujuan tertulis merupakan bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Hal itu disampaikan Usman ketika dihubungi Tribunnews.com pada Senin (26/8/2019).

"Pengebirian kimia adalah obat atau pengobatan hormon untuk menekan dorongan seksual. Memberlakukannya secara hukum tanpa persetujuan tertulis sebagai tindakan hukuman akan menjadi bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat," kata Usman.

Baca: Jokowi Tetap Prioritaskan Pembangunan Jakarta Meski Ibu Kota Bakal Pindah ke Kalimantan Timur

Ia juga menilai, pengebirian bahan kimia secara paksa adalah pelanggaran terhadap larangan hukum internasional atas penyiksaan dan perlakuan lain atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.

"Indonesia harus segera mencabut ketentuan yang memungkinkan pelaku penyalahgunaan seksual dihukum oleh pengebirian kimia secara paksa dan bahkan hukuman mati," kata Usman.

Meski demikian, Usman sangat menentang segala bentuk tindakan pelecehan seksual hingga kekerasan seksual terhadap anak.

Berita Rekomendasi

Tapi menurutnya penghukuman dengan cara itu bukanlah sebuah keadilan.

Baca: Respons WP KPK Terkait Kisruh 20 Capim Jilid V

Ia berpendapat segarusnya hukuman tersebut berupa pemenjaraan dalam waktu yang lama disertai program-program penyadaran.

"Para pelaku harus dihukum berat setimpal dengan kejahatannya. Pemenjaraan dalam waktu yang lama disertai program-program penyadaran yang dapat membuat seseorang menjadi sadar akan perbuatannya," kata Usman.

Diberitakan sebelumnya, vonis hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual dengan korban anak-anak baru pertama kali terjadi di Mojokerto, Jawa Timur.

Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto Nugroho Wisnu mengatakan, dari sekian kasus kejahatan seksual, khususnya pemerkosaan yang diajukan ke pengadilan, baru kali ini keluar vonis hukuman kebiri kimia.

Baca: Pelaku Perkosaan 9 Anak di Mojokerto Divonis Hukuman Kebiri Kimia, Apa Itu dan Bagaimana Efeknya?

Vonis hukuman itu dijatuhkan Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap Muh Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Pengadilan memutuskan Aris bersalah melanggar Pasal 76 D junto Pasal 81 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pemuda tukang las itu dihukum penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, Aris dikenakan hukuman tambahan beruapa kebiri kimia.

"Untuk wilayah Mojokerto ini yang pertama kali," kata Nugroho Wisnu saat dihubungi Kompas.com pada Minggu (25/8/2019) malam.

Aris dihukum penjara dan kebiri kimia setelah terbukti melakukan 9 kali pemerkosaan di wilayah Kota dan Kabupaten Mojokerto.

Ada pun para korbannya merupakan anak-anak.

"Dalam persidangan, terungkap 9 korban," kata Wisnu. 

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menanggapi keputusan pengadilan di Jawa Timur yang memberi hukuman kebiri kimia kepada pemerkosa 9 anak

Baca: Saat Irwan Mussry Ditanya Biaya Liburan Mewah Maia Sekeluarga, Lihat Gayanya, El Rumi: Exhausted Ya?

"Akhirnya, ada juga pengadilan negeri yang memuat kebiri kimiawi dalam putusannya bagi terdakwa predator seksual. Majelis Hakim di PN Mojokerto," ujarnya, Sabtu (24/8/2019).

Tapi, menurut Reza, bisa dipastikan, putusan semacam itu tidak bisa dieksekusi. Ia mengungkap beberapa alasannya.

Tapi, menurut Reza, bisa dipastikan, putusan semacam itu tdk bisa dieksekusi. Ia mengungkap beberapa alasannya.

"Pertama, Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi pelaksana karena di Indonesia filosofi kebiri adalah retributif. Padahal, di luar, filosofinya adalah rehabilitasi. Dokter, kata IDI, bertugas menyembuhkan, bukan balas dendam," katanya.

Alasan kedua, sambung Reza, di sini, kebiri dijatuhkan dengan menihilkan kehendak pelaku. Alhasil, bisa-bisa pelaku menjadi semakin buas.

"Kemudian di luar, kebiri adalah berdasarkan permintaan pelaku. Pantaslah kalau di sana kebiri kimiawi mujarab. Di sini belum ada ketentuan teknis kastrasi kimiawi. Akibatnya, UU 17/2016 melongo bak macan kertas."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas