KPK Periksa Irjen Kemenkeu Terkait Korupsi Pengadaan Kapal di Ditjen Bea Cukai-KKP
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal memeriksa Irjen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sumiyati.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal memeriksa Irjen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sumiyati.
Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi pengadaan kapal di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu dan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
"Saksi untuk Istadi Prahastanto (Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bea dan Cukai)," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada pewarta, Senin (26/8/2019).
Sumiyati sendiri pernah diperiksa penyidik KPK pada Jumat (9/8/2019). Saat itu dia memberi kesaksian untuk tersangka yang sama.
Dalam perkara ini KPK menetapkan empat tersangka. Keempat orang itu ialah Direktur Utama PT Daya Radar Utama Amir Gunawan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bea dan Cukai Istadi Prahastanto, Ketua Panitia Lelang Heru Sumarwanto, dan PPK KKP Aris Rustandi.
Baca: KPK Periksa Mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan Hari Ini
Baca: Aceng Fikri: Istri Saya Dibawa ke WC oleh Satpol PP Terus Digeledah Seluruh Tubuhnya
Istadi, Amir, dan Heru diduga melakukan sejumlah perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan hingga pelaksanaan pekerjaan pengadaan 16 kapal patroli cepat (Fast Patrol Boat/FCB) di Ditjen Bea dan Cukai.
Salah satunya, mengarahkan panitia lelang agar memilih PT DRU menggarap proyek tahun jamak 2013-2015 senilai Rp1,12 triliun tersebut.
Namun setelah diuji coba, kecepatan dan sertifikasi dual-class 16 kapal patroli itu tidak sesuai persyaratan kontrak.
Meski tidak sesuai, pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap menerima dan menindaklanjuti pembayaran.
Selama proses pengadaan, Istadi dan kawan-kawan menerima EUR7.000 sebagai sole agent mesin yang dipakai 16 kapal patroli cepat tersebut. Dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp117.736.941.127.
Kemudian pada perkara berikutnya, Amir dan Aris diduga melakukan cawe-cawe dalam penandatangan kontrak kerja pengadaan 4 unit kapal 60 meter untuk Sistem Kapal Inspeksi Perikanan (SKIPI) pada Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP. Nilai kontrak proyek ini USD58.307.789.
Aris diketahui membayar seluruh termin pembayaran proyek pengadaan empat kapal SKIPI kepada PT DRU senilai USD58.307.788 atau setara Rp744.089.959.059. Padahal, biaya pembangunan empat kapal itu hanya Rp446.267.570.055.
KPK mensinyalir terdapat sejumlah perbuatan melawan hukum lain dalam proses pengadaan. Di antaranya, belum adanya engineering estimate, persekongkolan dalam tender, dokumen yang tidak benar, dan sejumlah PMH lainnya.
Empat kapal SKIPI itu juga diduga tidak sesuai spesifikasi yang diisyaratkan dan dibutuhkan, misalnya kecepatan tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 cm, markup volume plat baja, dan aluminium serta kekurangan perlengkapan kapal lain. Kerugian negara dari kasus ini mencapai Rp61.540.127.782.
Pada perkara pengadaan kapal Ditjen Bea dan Cukai, Amir, Istadi, dan Heru melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan, pada perkara korupsi kapal di KKP, Amir dan Aris disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.