Miliki Sejumlah Catatan Kritis, Pansel Capim KPK Dianggap Menutup Telinga dari Aspirasi Publik
Kurnia Ramadhana mencatat sejumlah hal yang dilakukan pansel selama proses pemilihan calon pimpinan
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK (Pansel Capim KPK) dinilai menutup telinga dari aspirasi yang disampaikan publik terkait seleksi yang dilakukan.
Menurut Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK), saat ini proses seleksi pimpinan KPK yang menyisakan berbagai persoalan serius.
Mulai dari tindakan atau pernyataan pansel, proses seleksi, hingga calon-calon yang tersisa hingga sejauh ini.
Perwakilan Koalisi Kawal Capim KPK, Kurnia Ramadhana mencatat sejumlah hal yang dilakukan pansel selama proses pemilihan calon pimpinan.
Baca: Koalisi Kawal Capim KPK Menduga Tim Pansel Punya Konflik Kepentingan
Baca: IPW: Pansel Tak Perlu Pertahankan Petahana Pimpinan KPK
“Pertama, pansel seakan tidak menghiraukan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Respons yang diberikan oleh pansel acapkali negatif dan defensif padahal penyikapan atas langkah-langkah pansel dalam penyaringan pimpinan KPK," kata Kurnia di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (25/8/2019).
"Bukan hanya oleh kalangan masyarakat sipil antikorupsi. Namun sudah mencakup perwakilan organisasi agama hingga mantan pimpinan KPK,” jelas Kurnia.
Hal lain, pada 25 Juni 2019 pansel menghembuskan isu radikalisme pada proses pemilihan pimpinan KPK.
Padahal, hal itu sama sekali tidak relevan. Karena seharusnya yang disuarakan oleh Pansel adalah aspek integritas.
“Posisi ini memperlihatkan keterbatasan pemahaman pansel akan konteks dan mandat KPK sebagai penegak hukum,” imbuhnya.
Selanjutnya ada sejumlah penegak hukum aktif menjadi pimpinan KPK. Pada 26 Juni 2019 Koalisi mencatat pansel menyebutkan bahwa lebih baik pimpinan KPK ke depan berasal dari unsur penegak hukum.
Alasan pansel, lantaran penegak hukum dipandang lebih berpengalaman dalam isu pemberantasan korupsi.
Meski logika tersebut dinilai keliru karena seakan pansel tidak paham dengan original intens pembentukan KPK.
“Sejarahnya KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum konvensional tidak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan lebih jauhnya adalah apa saat ini penegak hukum lain telah baik dalam pemberantasan korupsi," kata Kurnia.
"Berbagai penelitian dan survei masih menempatkan penegak hukum di peringkat bawah untuk penilaian masyarakat dalam pemberantasan korupsi,” tegas Kurnia.