Pesan Zulkifli Hasan kepada Pemerintah: Selesaikan Dulu Gejolak di Papua, Baru Bicara Ibu Kota Baru
"Tentu ibu kota ok saja. Tapi yang pertama ini dulu. Tak elok kita ribut pindah ibu kota sementara Papua masih bergejolak," katanya
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai tidak elok meributkan masalah pemindahan ibu kota disaat terjadi gejolak di Papua.
Zulkifli Hasan menyarankan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah di Papua terlebih dahulu.
"Tentu ibu kota ok saja. Tapi yang pertama ini dulu. Tak elok kita ribut pindah ibu kota sementara Papua masih bergejolak. Ini dulu harus diselesaikan pemerintah," ujar Zulkifli Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (25/8/2019).
Baca: Ibu Kota Baru di Kaltim, Kemendagri: Ucapan Menteri ATR Itu Alternatif, Belum Fixed
Baca: Ibu Kota Pindah ke Kaltim: Bantahan Jokowi, Saran Fadli Zon hingga Tanggapan Walkot Banjarmasin
Menurut Ketua Umum PAN itu, menyesaikan konflik di Papua tidak hanya cukup dengan pendekatan pembangunan saja.
Perlu ada pendekatan emosional dengan menemuinya langsung.
"Hatinya direbut, nggak bisa bangun jalan saja, nggak bisa bangun airport saja. Tapi memang Papua perlu perlakuan khusus," kata Zulkifli Hasan.
Menurut Zulkifli memang tidak mudah menyelesaikan masalah di Papua secara komprehensif.
Namun ia mengatakan tidak ada cara lain selain melalui pendekatan emosional.
"Merebut hati saudara hati saudara kita Papua, saya dulu sering ke sana, tidur, bermalam. Hampir semua Papua sudah saya datang. Memang perlu kita rebut hatinya," katanya.
Hak interpelasi
Anggota Komisi V DPR dari fraksi Gerindra, Bambang Haryo menolak secara tegas keputusan pemerintah memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Ia mengatakan, pemerintah telah melangkahi DPR yang memutuskan secara sepihak lokasi ibu kota baru.
Terlebih, belum ada aturan atau Undang-Undang yang mengatur pemindahan ibu kota negara.
Bambang menyebut kemungkinan dirinya akan menyuarakan hak interpelasi untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemindahan ibu kota.
"Saya pikir kita bisa lakukan seperti itu (hak interpelasi) kalau terpaksa, kalau presiden melanggar undang-undang bisa di-impeach itu, bisa kena itu," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Menurutnya, skala prioritas saat ini yaitu pemerintah harus memperbaiki ekonomi rakyat.
Bukan menghabiskan ratusan triliun untuk membangun gedung-gedung pemerintahan di lokasi ibu kota baru.
Baca: Pertamina: SPBU di Kota Sorong Telah Beroperasi Normal
Baca: Perbedaan Fasilitas Bagi Penumpang Kereta Api Usai Revitalisasi
"Terus terang kondisi rakyat sekarang, atau kondisi negara ini dalam kondisi susah, sulit, utang kita juga sangat besar dan pertumbuhan ekonomi juga melambat," jelasnya.
Karena itu, Bambang yakin mayoritas anggota dewan akan bersikap sama seperti dirinya, yaitu menolak secara tegas pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
"Saya pikir tadi kita akan lawan, istilahnya akan mengeluarkan suatu pendapat untuk menolak secara total dan saya yakin semua anggota DPR sebagian besar pasti akan menolak," pungkasnya.
Bangun istana negara
“Ibu kota baru, kota dengan taman kota yang indah orang bisa hidup sehat, dan udaranya bersih.”
Gambaran itu disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, usai menghadiri rapat Rancangan Undang-Undang Pertanahan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
Dalam kesempatan tersebut, Sofyan juga menyebut pemerintah sudah memutuskan ibu kota baru akan berlokasi di Kalimantan Timur.
Secara meyakinkan Sofyan juga merinci konstruksi bangunan di ibu kota baru dimulai dari Istana Negara.
“Yang dibangun pertama tentu kantor presiden, lalu kantor menteri, DPR dan lain-lain begitu yaa,” urai Sofyan.
Sofyan menyampaikan saat ini pemerintah masih melakukan sinkronisasi pasal-pasal terakhir dalam RUU Pertanahan.
Dalam pasal tersebut, seperti diutarakan Sofyan mengatur tentang sistem informasi untuk menyelaraskan berbagai kementerian/lembaga.
Adanya sistem informasi pertanahan akan menghubungkan informasi terkait lahan atau kawasan yang berada di bawah masing-masing kementerian/lembaga.
“Informasi ini harus link sehingg kita tahu izinnya, mana batasnya dan lainnya," ujar dia.
Selanjutnya, RUU Pertanahan akan dibahas di DPR paling lambat akhir September 2019.
Sudah diputuskan
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, memastikan ibu kota baru akan berada di Provinsi Kalimantan Timur.
Hal itu disampaikan Menteri ATR usai rapat Rancangan Undang-Undang Pertanahan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
“Iya sudah diputuskan (ibu kota baru, red) di Kalimantan Timur, hanya spesifiknya yang belum,” ujar Sofyan.
Sofyan menegaskan saat ini pemerintah menunggu kepastian lokasi ibu kota sebelum mengunci tata kelola tanah melalui UU Pertanahan.
UU Pertanahan tersebut akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI selambat-lambatnya akhir September.
"Nanti kalau sudah diputuskan kita langsung kunci,” papar Sofyan.
Ia memaparkan cor pertama ibu kota baru akan digarap di atas tanah seluas 3.000 hektare, selanjutnya perluasan tanah ditargetkan mencapi 300 ribu hektare.
Sofyan menyebut dengan adanya RUU Pertanahan persoalan spekulan tanah di Kaltim bisa terurai.
“Yang kemarin beredar kan Undang undang pertanahan akan mengatur pajak progresif. Padahal undang undang ini untuk menjegah spekulan tanah,” urai dia.
Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, menegaskan RUU Pertanahan harus segera diselesaikan sebelum dibahas di DPR.
"Satu bulan masa kerja ini kita sinkronkan semua K/L(Kementerian Lembaga). Aturan UU yang mengatur di kementerian masing-masing ini akan disatukan secara komprehensif sebagai bahan acuan membahas (daftar inventarisasi masalah) DIM. RUU ke DPR yang waktunya tinggal satu bulan," ujar Tjahjo.