Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dirut BPJS: Peserta Bukan Penerima Upah Tidak Tertib Bayar Iuran

Namun, ia menyebut, di dalamnya belum ada aturan spesifik yang mengatur sanksi keterlambatan iuran.

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Dirut BPJS: Peserta Bukan Penerima Upah Tidak Tertib Bayar Iuran
Tribunnews.com/Apfia Tioconny Billy
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan melakukan langkah tegas kepada para peserta yang menunggak iuran. Peserta yang menunggak nantinya akan didatangi petugas ke rumahnya masing-masing.

Direktur Utama BPJS‎ Kesehatan, Fachmi Idris mengatakan hal tersebut dilakukan lantaran sepanjang tahun 2018 sekitar 12 juta jiwa atau 39 persen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) tidak tertib membayar iuran. Adapun total PBPU mencapai 31 juta jiwa. "Kami akan door to door untuk menagih tagihan," ucap Fahmi Idris di DPR, Senin (2/9/2019) kemarin.

Ia menyebut selama ini, pihaknya melakukan self collecting dalam melakukan penagihan, misalnya seperti peringatan melalui SMS, pesan aplikasi Whatsapp dan email. Namun, cara tersebut memang diakuinya belum maksimal dan efektif dalam menagih iuran.

"Kami akan melakukan 4 tahap (untuk menginvestigasi kepesertaan), yaitu sosialisasi langsung dan tidak langsung, menambahkan akses dalam pembayaran iuran, pengupayaan peserta mandiri tidak mampu membayar masuk dalam PBI APBN maupun APBD, dan mengadvokasi RS untuk memberikan hak pelayanan," kata Fahmi.

Lebih lanjut, Fahmi mengatakan, pembayaran iuran sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 89/2013 tentang pengenaan sanksi administratif. Namun, ia menyebut, di dalamnya belum ada aturan spesifik yang mengatur sanksi keterlambatan iuran.

Fahmi Idris juga menyebut defisit perusahaannya akan semakin besar jika kenaikan iuran tidak disetujui DPR RI. Sebab, ia memprediksi bahwa defisit BPJS kesehatan akan naik setiap tahunnya, bahkan pada 2024 diprediksi mencapai Rp 77,9 triliun.

Baca: Dirut BPJS Kesehatan: Iuran Tidak Naik, 2024 Defisit Bisa Tembus Rp 77,9 Triliun

"Proyeksi di 2019-2024 kalau kita melihat ini, artinya kalau kita tidak melakukan upaya-upaya yang bersifat policy mix, artinya meningkatkan iuran kaitannya dengan upaya-upaya bauran kebijakan, maka akan terjadi defisit ini semakin lebar," ucap Fahmi.

Berita Rekomendasi

Bahkan, ia menyebutkan bahwa pada tahun 2020 BPJS akan defisit sebesar Rp 39,5 triliun. Kemudian tahun 2021 sebesar Rp 50,1 triliun, tahun 2022 Rp 58,6 triliun, tahun 2023 Rp 67,3 triliun, serta di tahun 2024 mencapai Rp 77,9 triliun.

Baca: DPR Tolak Usulan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Maka dari itu, Fahmi berharap DPR menyetujui besaran kenaikan iuran yang diusulkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu. "Harapannya dengan perbaikan fundamental iuran yang kemarin dipaparkan, persoalan defisit kita dapat selesaikan dengan lebih struktural," kata Fahmi.

Anggota Komisi XI DPR, Ahmad Hatari mengatakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut ada 2.348 perusahaan yang memanipulasi data gaji kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Dugaan manipulasi itu, kata Ahmad, yang diduga menjadi BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan sebesar Rp 32,84 triliun hingga akhir 2019. "Siapa yang mau bantah ini?, manipulasi data, tata kelola yang kacau," kata Hatari.

Baca: Ada Dugaan Perusahaan Manipulasi Data Gaji Peserta BPJS, DPR Akan Bentuk Pansus

Hatari mengungkapkan, hasil audit BPKP menemukan masih ada 24,77 juta peserta BPJS Kesehatan yang bermasalah. Dari data itu, 17,7 juta jiwa mengalami masalah NIK, 10 juta jiwa terdapat NIK ganda, dan kolom faskes yang kosong sekitar 21.000, dan sisanya sudah meninggal.

Sedangkan, dari hasil audit BPK, sebanyak 528.120 pekerja belum didaftarkan dari 8.314 perusahaan. Hasil itu ditemukan sebanyak 2.348 badan usaha tidak melaporkan gaji dengan benar.

Baca: Audit BPKP: Ada 2.348 Perusahaan Diduga Manipulasi Data Gaji Peserta BPJS Kesehatan

"Temuan BPKP juga, badan usaha yang belum tertib dengan tidak didaftarkan secara penuh pesertanya adalah 500 ribuan peserta," ujarnya.

Oleh karena itu, persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan harus diselesaikan secara bersama-sama khususnya antar pemerintah. Mulai dari penyelesaian data hingga keputusan untuk menyesuaikan iuran.

"Karena, sulit menyelamatkan BPJS, satu tahun itu asumsi tagihannya pada 2019 sebesar Rp 32 triliun, estimasi defisit harus ditutup dulu dan iuran baru bisa membantu BPJS Kesehatan di 2020," jelasnya.

Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik per 1 Januari 2020, Berlaku untuk Kelas I dan Kelas II

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan, iuran BPJS Kesehatan kelas mandiri I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang. Dengan kenaikan ini berarti, peserta yang tadinya membayar iuran Rp 80 ribu akan naik menjadi Rp 160 ribu per orang per bulan.

Untuk peserta kelas mandiri II, diusulkan agar iuran dinaikkan dari Rp 59 ribu per bulan menjadi Rp 110 ribu. Sementara, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp 16.500 dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42 ribu per peserta.

Baca: Usul Misbakhun Bentuk Pansus JKN Urai Persoalan BPJS Kesehatan

Sri Mulyani beralasan kenaikan iuran ini akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin sehat. Hitungannya, kalau kenaikan iuran dilakukan sesuai usulan Kementerian Keuangan dan mulai diberlakukan 1 Januari 2020, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi surplus Rp 17,2 triliun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas