Revisi Draft UU KPK: KPK Hanya Berwenang Tangani Korupsi Minimal Rp 1 Miliar
Draft Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatur mengenai kewenangan dan tugas KPK.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Draft Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatur mengenai kewenangan dan tugas KPK.
Dalam pasal 6 Revisi UU KPK disebutkan KPK bertugas melakukan:
a. tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi;
b. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik;
c. monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;
d. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi; dan
f. tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Baca: Tak Hanya Liburan ke Rowo Bayu, Ini 8 Aktivitas Seru di Banyuwangi
Baca: Fadli Zon Setuju Dengan Niat Pemerintah Tangkap Benny Wenda
Baca: Pedagang Kecil Jualan di Trotoar Pasar Tanah Abang Minta Dikasih Tempat Layak
Upaya proses hukum, seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi diatur lebih lanjut pada Pasal 11 Revisi UU KPK.
Nantinya, KPK menangani perkara korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 Miliar.
Pasal 11
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berharap ditolak Jokowi
Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak upaya DPR melakukan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diketahui, Revisi UU KPK kini menjadi usul inisiatif dari DPR.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz meminta Jokowi untuk konsisten dengan sikapnya menolak Revisi UU KPK.
"Kita berharap Presiden menolak upaya revisi ini. Kita sekaligus meminta Presiden untuk konsisten menolak upaya revisi UU KPK yang bertujuan untuk melemahkan KPK sebagaimana yang pernah disampaikan 2017 lalu," ujar Donal Fariz kepada wartawan, Kamis (5/9/2019).
Baca: Fadli Zon Sebut Pembentukan Dewan Pengawas KPK Kontroversial
Donal Fariz menilai rentetan peristiwa mulai dari seleksi calon pimpinan KPK yang kontroversial hingga revisi UU KPK adalah suatu hal yang sistematis untuk melemahkan KPK.
"ICW melihat ada upaya secara sistematis melemahkan KPK. Rangkaian upaya ini bisa dilihat sebagai langkah jahat yang terkonsolidasi untuk memperlemah KPK secara institusi," katanya.
Baca: Peragakan 26 Adegan Saat Rekonstruksi, Terungkap Aulia Beli Handuk untuk Bekap Suami dan Anak Tiri
Selain itu, ICW melihat upaya revisi kilat UU KPK ini terjadi pada akhir masa jabatan DPR, yang menegaskan DPR secara konsisten berupaya untuk mengurangi kewenangan KPK agar menjadi lemah.
"Sehingga KPK bisa dikendalikan secara politik," ujar Donal Fariz.
Diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) agar dapat menjadi RUU usulan DPR.
Baca: KPU Optimistis Caleg yang Belum Setor LHKPN Mampu Rampungkan Persyaratan di Waktu Tersisa
Usul Badan Legislasi DPR tentang RUU Usul Badan Legislasi DPR tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dibawa ke rapat paripurna untuk mendengarkan pandangan fraksi pada hari ini, Kamis (5/9/2019).
Dalam rapat tersebut, seluruh fraksi partai politik di parlemen satu suara menyetujui revisi undang-Undang tersebut. Selanjutnya, pembahasan akan ditindaklanjuti melalui mekamisme yang ada.
Kado pahit diujung jabatan
-Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai, agenda paripurna untuk mengesahkan revisi UU KPK secara diam-diam, menunjukan iktikat kurang baik dari anggota DPR masa bakti 2014-2019 ini.
"Seperti kado pahit di ujung masa bakti anggota DPR 2014-2019. Mereka tentu saja sangat paham, poin-poin revisi yang akan dibahas adalah poin-poin yang mendapat penentangan keras dan perhatian tinggi dari masyarakat," ungkap Ray Rangkuti, Kamis (5/4/2019).
Dok, seluruh fraksi tanpa terkecuali menyetujui Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam rapat paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan hari ini.
Dalam rapat paripurna yang hanya berlangsung sekitar 15 menit itu fraksi-fraksi memberikan pandangannya tentang RUU KPK secara tertulis.
“Sepuluh fraksi telah menyampaikan pandangannya secara tertulis. Selanjutnya pendapat fraksi terhadap RUU usul Badan Legislasi DPR RI tentang perubahan kedua UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dapat disetujui sebagai usul DPR RI?” tanya Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto sebagai pimpinan sidang terhadap peserta rapat paripurna yang berjumlah sekitar 67.
“Setuju!” jawab peserta rapat paripurna secara bersemangat.
Baca: Lewat Pelabuhan Rakyat dan Pinggir Pantai, Cara Jaringan Malaysia Sebar Narkoba ke Indonesia
Baca: Gubernur Maluku Murad Ismail Nyatakan Perang, Utusan Menteri Susi Pudjiastuti Justru Nilai Positif
Utut mengatakan pembahasan RUU KPK tersebut akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku. Setelah ini RUU KPK sebagai usul dari DPR RI disampaikan dan dibahas bersama pemerintah kemudian dibawa lagi ke paripurna untuk disahkan sebagai undang-undang.
Seharusnya, kata Ray rencana paripurna untuk mengesahkan rencana revisi ini dilakukan secara terbuka sejak awal. Jangan seperti sekarang, katanya lagi tiba-tiba saja muncul sebagai agenda rapat paripurna.
Baca: Contoh Soal CPNS 2019 dan P3K/PPPK Ramai Beredar Jelang Pendaftaran Dibuka, Begini Tanggapan BKN
"Jika DPR merasa bahwa poin-poin revisi versi DPR adalah sesuatu yang baik, apa yang membuat mereka diam-diam akan memutuskan rencana revisi dalam rapat paripurna," kata Ray.
"Saya kira karena tidak ada iktikat baik untuk melibatkan publik dalam pembahasan revisi UU KPK. DPR tidak ingin pandangan dan argumentasi mereka mereka akan dibantah oleh publik. Selain kurangnya iktikat baik, rencana revisi ini juga seperti dipaksakan," lanjutnya.
Baca: Hanya Diikuti 56 Anggota Dewan, DPR RI Setujui Revisi Dua UU dalam Waktu 15 Menit
Jika dilihat dari masa bakti anggota DPR 2014-1019 yang hanya tinggal 3 Minggu lagi, menurut Ray, revisi ini nyaris sulit dilaksanakan. Rencana revisi ini sekaligus seperti hendak memaksakan anggota DPR baru (2019-2024) untuk melanjutkan pembahasan revisi ini pada masa berikutnya.
Baca: Dua Orang Lanjut Usia Ditemukan Meninggal Dunia di Pekarangan
"Seperti memberi beban pekerjaan pada anggota legislatif baru untuk membahas revisi UU KPK yang banyak mendapat penentangan dari publik. Saya sendiri heran, di akhir masa bakti anggota DPR sekarang (2014-2019) masih sempat memikirkan untuk meninggalkan catatan negatif atas mereka," kata dia.
“Dalam hitungan waktu 3 minggu ke depan, sejatinya mereka meninggalkan sesuatu yang layak dikenang sebagai sumbangsih positif mereka bagi bangsa ini,” lanjut Ray.
Baca: Kapolri Beri Kenaikan Pangkat Luar Biasa pada 3 Polisi yang Terluka saat Bertugas di Papua
Seharusnya, saran Ray memikirkan bagaimana memberi kado istimewa bagi rakyat yang selama 5 tahun masa bakti mereka lebih banyak mendapat kesan negatif dari rakyat dari pada positifnya.
Khususnya bagi yang tidak terpilih kembali sebagai anggota DPR priode 2019-2024. Alangkah menyedihkan di akhir masa bakti, sambung Ray lagi (yang tidak terpilih kembali sebagai anggota DPR) akan dikenang sebagai anggota DPR yang memberi kado pahit bagi rakyat justru di ujung masa bakti mereka.
“Memilukan jika nanti tanggal 1 Oktober 2019 mereka meninggalkan gedung DPR dengan berbagai ungkapan yang mengkritik kado pahit anggota dewan di ujung masa bakti mereka ini. Dan itu akan dicatat sejarah, terus menerus,” sindir Ray Rangkuti.