Mengapa Kisah Horor KKN di Desa Penari Viral dan Bikin Penasaran Warganet? Ini Kata Para Pakar
Kisah horor cerita Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Penari masih kerap diperbincangkan warganet.
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Kisah horor cerita Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Penari masih kerap diperbincangkan warganet.
Banyak warganet penasaran dengan teka teki lokasi KKN di Desa Penari.
Sejumlah orang bahkan sampai mendatangi lokasi-lokasi tertentu yang diduga menjadi lokasi KKN di Desa Penari.
Fenomena apakah ini?
Tribunnews menghubungi Pakar Kajian Budaya sekaligus Guru Besar Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Bani Sudardi.
Menurut Prof Bani, cerita semacam KKN Desa Penari memang ada di masyarakat.
Baca: Penampakan Darungan, Kampung yang Sudah Ditinggalkan 10 Tahun, Diduga Lokasi KKN di Desa Penari
Prof Bani menuturkan, cerita tersebut tergolong ke dalam folklor.
"Itu memang bagian dari budaya. Religi, masuk golongan folklor sebagian lisan," kata Prof Bani, ketika dihubungi Tribunnews via pesan instan Whatsapp, Kamis (6/9/2019).
Profesor Ilmu Budaya itu melanjutkan, folklor terdiri dari tiga jenis.
Tiga jenis folklor tersebut yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
Pada folklor lisan, terdiri dari mitos, legenda, dongeng, lagu, bahasa, teka teki, kata bijak, dan sebagainya.
Folklor sebagian lisan terdiri dari festival, drama, tradisi, pesta, dan takhayul atau kepercayaan rakyat.
Sementara itu, folklor bukan lisan terdiri makanan, bangunan, pakaian, kraft, dan hiasan.
"Folklor di KKN termasuk kepercayaan rakyat," ujar Prof Bani.
Viral karena Cerita Horor Bersifat Turun Temurun
Prof Bani menerangkan, folklor kepercayaan rakyat dapat menjadi viral karena bersifat turun temurun.
Selain itu, kepercayaan masyarakat yang kuat terhadap cerita tersebut juga menjadi satu faktor bertahannya cerita KKN Desa Penari hingga kini.
Baca: Viral KKN di Desa Penari, Kaesang Pangarep Ikut-ikutan Cerita tentang Pengalaman KKN-nya
Prof Bani menjelaskan, ada beberapa hal yang dipercaya masyarakat atau netizen mengenai cerita KKN Desa Penari.
"Yang pertama, percaya kepada penunggu tempat mata air. Karena percaya, untuk mendukung kepercayaan itu, maka diciptakan suatu alat untuk melegitimasi," jelas Prof Bani.
Prof Bani menuturkan, alat legitimasi tersebut adalah cerita tentang mahasiswa KKN yang dikemas oleh penulis.
Dosen Sastra Indonesia itu berpendapat, masyarakat sebenarnya tidak mementingkan kebenaran cerita.
Namun, yang terpenting bagi masyarakat adalah nilai-nilai yang bisa dipetik dari cerita tersebut.
Hikmah yang bisa diambil adalah, bahwa tidak sepatutnya manusia melakukan perbuatan-perbuatan terlarang.
Karena, semua perbuatan terlarang yang dilanggar akan ada akibatnya.
Misalnya, gila, hilang, meninggal, dan lain-lain.
Hal tersebut seperti yang dialami kedua tokoh dalam cerita KKN Desa Penari, Bima dan Ayu.
"Inilah salah satu bentuk untuk melegitimasi kepercayaan masyarakat itu," kata Prof Bani.
Baca: Fakta Rowo Bayu Banyuwangi yang Dikaitkan KKN Desa Penari, Ada Petilasan Raja Blambangan
Prof Bani juga mengungkapkan, ada hal yang menarik dari viralnya cerita KKN Desa Penari.
Hal tersebut yakni persentuhan antara kepercayaan rakyat dan dunia modern.
"Kepercayaan rakyat yang seharusnya hanya terjadi di sekitar mata air tentang adanya makhluk halus, kemudian berkembang masuk ke dunia maya menjadi cerita viral," papar Prof Bani.
"Sehingga, orang-orang yang sebenarnya di luar dari komunitas, atau dari pop masyarakat, bisa mengetahui," lanjutnya.
Prof Bani melanjutkan, merebaknya cerita KKN Desa Penari di jagad maya kemudian memberikan beberapa penilaian dan reaksi dari netizen.
Sementara itu, reaksi para netizen mungkin tidak diketahui oleh masyarakat pemilik kepercayaan tersebut.
"Inilah istimewanya dari adanya dunia maya atau hal-hal yang menjadi viral ini," tutup Prof Bani.
Alasan Cerita Horor Diminati
Cerita KKN Desa Penari menjadi viral di media sosial.
Mengapa cerita tersebut menjadi viral dan banyak dibicarakan bahkan akan dibuat menjadi novel?
Pakar Javanologi, Prof Sahid Teguh Widodo, MHum, PhD membeberkan penyebabnya.
Cerita-cerita mengenai hal-hal mistis banyak diminati karena beberapa alasan.
Baca: Menguak Cerita KKN Desa Penari, Wanita Indigo Furi Harun Ungkap Terawangannya: Sebuah Peringatan
Menurut Prof Sahid ada kecenderungan bahwa semesta simbolik yang diproduksi oleh era milenial ini belum begitu kuat.
"Justru menunjukkan adanya pengulangan-pengulangan semesta simbolik lama," katanya, saat dihubungi melalui sambungan telepon oleh Tribunnews, Kamis (5/9/2019).
Prof Sahid menjelaskan beberapa fase perkembangan zaman termasuk semesta simboliknya.
Setiap zaman selalu memproduksi semesta simbolik yang menjadi representasi dari zamannya.
"zaman raja-raja, itu simbolnya mitis, kepatuhan, raja dianggap wakil Tuhan, wakil dari dewa-dewa yang mewujud untuk mengatur kehidupan manusia," tuturnya.
Misalnya, orang tidak boleh menggunakan nama secara sembarangan.
Lepas dari zaman itu, masuk ke era industrialisasi.
Di era ini berubah menjadi mitis modern tetapi individual.
Sementara itu, pada era teknokratis berubah semesta simboliknya yakni menjadi tawar-menawar.
"Manusia berusaha menyesuaikan perilaku dengan perubahan," katanya.
Saat ini di era yang digital, terjadi perubahan yang terlalu cepat.
Menurut Prof Sahid, orang tidak lagi mengenal orang secara langsung, tidak lagi lewat pertemuan langsung.
Gejala-gejala tersebut tak bisa ditahan oleh masyarakat.
Meskipun zaman terus berganti, semesta simbolik tidak serta merta berganti 100 persen.
Baca: Deretan Fakta Rowo Bayu Banyuwangi yang Dikaitkan dengan KKN Desa Penari
Komputer sudah menjadi barang yang digunakan oleh semua masyarakat dewasa ini.
Dalam hal ini perkembangan virtual semakin pesat.
"Setiap orang memiliki kecenderungan untuk menderivasi dirinya sendiri", katanya.
Orang juga disebut cenderung ingin mendapat kesempurnaan dari dunia virtual.
Hal-hal ini kemudian memunculkan adanya hukum virtual yakni UU ITE.
Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) ini berpendapat saat ini orang-orang cenderung mempercayai hal-hal yang tidak tampak.
"Padahal zaman tradisional hal itu sudah ada."
"Simbol-simbol masa lalu yang menjadi dasar kehidupan masyarakat utama di Jawa tidak 100 persen berubah," tambahnya.
Hal inilah yang membuat mengapa hal-hal virtual bisa menjadi viral.
"Hal-hal yang sifatnya virtual bisa menjadi viral karena ada rembesan-rembesan masa lalu," katanya.
Satu penyebab lain yakni nilai berita.
Menurut Prof Sahid, orang-orang saat ini sudah tidak tertarik pada hal-hal yang bersifat horizontal.
Misal seperti aktivitas sehari-hari bahkan prestasi seseorang.
"Kemajuan zaman tidak linier 100 persen, adanya rembesan-rembesan masa lalu yang masih ada walaupun dalam generasi yang berbeda," tambahnya.
Saat ditanya mengenai kebenaran cerita KKN Desa Penari, cerita-cerita mengani sosok penari di masa lalu memang ada.
Prof Sahid menambahkan, cerita folklor digunakan sebagai suatu alat untuk mengatur masyarakat.
"Hal itu timbul sebagai alat untuk memaksa masyarakat untuk tidak melakukan sesuatu," katanya.
(Tribunnews.com/Miftah/Citra Agusta Putri Anastasia)