Terima Suap 2,9 Juta Dolar AS dari Kernel Oil, Eks Bos Petral Gunakan Perusahaan Cangkang
Penerimaan suap itu dilakukan Bambang melalui perusahaan cangkang yang didirikan di British Virgin Island bernama SIAM Group Holding Ltd
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Managing Director Pertamina Energy Service (PES) Pte Ltd dan eks Direktur Utama Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) Bambang Irianto sebagai tersangka kasus dugaan suap perdagangan minyak mentah dan produk kilang di PES selaku subsidiary company PT Pertamina (Persero).
Bambang diduga menerima suap sekitar USD2,9 juta dari Kernel Oil selama periode 2010-2013.
Baca: Kasus Mafia Migas, KPK Telah Geledah 5 Lokasi Terkait Penyidikan Mantan Bos Petral
Penerimaan suap itu dilakukan Bambang melalui perusahaan cangkang yang didirikan di British Virgin Island bernama SIAM Group Holding Ltd.
"Dalam perkara ini ditemukan bagaimana alur suap dilakukan lintas negara dan menggunakan perusahaan 'cangkang' di yurisdiksi asing yang masuk dalam kategori tax haven countries," ungkap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).
KPK memastikan bakal mengusut dan menelusuri aliran dana suap yang diterima Bambang.
Baca: Berikut 9 Permintaan Tokoh Papua pada Jokowi saat Bertemu di Istana Negara Jakarta
Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara akibat korupsi di sektor migas tersebut.
"Dikarenakan dugaan penerimaan suap cukup signifikan maka KPK akan terus berupaya melakukan penelusuran dan asset recovery," ujar Laode.
Ditetapkan sebagai tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd 2009-2013 Bambang Irianto sebagai tersangka.
Bambang yang juga mantan Direktur Utama Pertamina Energy Trading Limited (Petral) itu terjerat kasus dugaan suap terkait dengan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Service Pte. Ltd.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menerangkan, pihaknya menindaklanjuti dugaan korupsi setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) membubarkan Petral pada 2015 karena diduga adanya mafia migas dalam perdagangan minyak yang ditugaskan pada anak perusahaan PT Pertamina Persero, termasuk Petral dan Pertamina Energy Service (PES).
Dalam penyelidikan itu KPK menemukan bahwa kegiatan sesungguhnya dilakukan oleh PES, sedangkan Petral diposisikan jadi semacam paper company, sehingga KPK fokus mengungkap penyimpangan yang terjadi di PES tersebut.
"Setelah terpenuhinya bukti permulaan yang cukup, KPK meningkatkan ke penyidikan dalam perkara dugaan penerimaan hadiah atau janji dan menetapkan satu orang sebagai tersangka," terang Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).
Laode juga mengatakan bahwa dalam perkara ini ditemukan bagaimana alur suap dilakukan lintas negara dan menggunakan perusahaan cangkang di yurisdiksi asing yang masuk dalam kategori tax haven countries.
Baca: Kivlan Zen Sedang Sakit Saat Hadiri Sidang Pembacaan Surat Dakwaan
Awalnya, lanjut dia, dengan target menciptakan Ketahanan Nasional di bidang energi, PT Pertamina (Persero) membentuk fungsi Integrated Supply Chain (ISC) yang bertugas melaksanakan kegiatan perencanaan, pengadaan, tukar menukar, penjualan minyak mentah, intermedia, serta produk kilang untuk komersial dan operasional.
Untuk mendukung target tersebut, PT Pertamina mendirikan beberapa perusahaan subsidiari yang dimiliki dan dikendalikan penuh, yakni Petral yang berkedudukan hukum di Hong Kong, dan Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES) yang berkedudukan hukum di Singapura.
"Petral tidak punya kegiatan bisnis pengadaan dan penjualan yang aktif. Sedangkan PES menjalankan kegiatan bisnis utama yaitu pengadaan dan penjualan minyak mentah dan produk kilang di Singapura untuk mendukung perusahaan induknya yang bertugas menjamin ketersediaan bahan bakar minyak secara nasional," kata Laode.
Laode mengaku telah melakukan penyelidikan perkara ini sejak Juni 2014 dengan cara mengumpulkan informasi dan data yang relevan.
Penyelidikan tersebut menurut Laode dilakukan dengan sangat cermat dan hati-hati. Pada tahapan tersebut telah dilakukan pemeriksaan terhadap 53 saksi.
"Selain itu, dipelajari dokumen dari berbagai instansi serta koordinasi dengan beberapa otoritas di lintas negara," ujar Laode.
Bambang Irianto dalam perkara ini disangka melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.