16 LBH-YLBI Desak Jokowi Hentikan Pembahasan Revisi UU KPK
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk membahas revisi UU nomor 30/2002 tentang KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk membahas revisi UU nomor 30/2002 tentang KPK.
Padahal, sejumlah poin dalam draf RUU itu dinilai akan melemahkan bahkan melumpuhkan KPK.
Atas hal tersebut, 16 LBH-YLBHI mengecam keras setiap bentuk upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.
"Kami meminta Jokowi sebagai Presiden pilihan rakyat untuk mendengarkan suara dan masukan berbagai elemen masyarakat dengan bertindak konkrit sebagai kepala pemerintahan dengan menghentikan pembahasan Revisi UU KPK bukan hanya beretorika berharap DPR tidak melemahkan KPK namun sebetulnya merestui pelemahan KPK melalui pembahasan RUU KPK," tegas Ketua Umum YLBHI Asfinawati kepada wartawan, Kamis (12/9/2019).
Dia melanjutkan, saat ini sedang berlangsung serangan terhadap sistem dan gerakan pemberantasan korupsi di berbagai level yang dilakukan secara sistematis.
Memasukkan Capim KPK bermasalah dan Revisi UU KPK dilakukan untuk melemahkan KPK dari dalam dan akan menghapus berbagai kewenangan penting KPK sebagai lembaga independen antirasuah.
Sedangkan teror dan intimidasi baik secara fisik, fitnah, peretasan serta pembajakan alat komunikasi terhadap mereka yang melakukan advokasi terhadap kedua hal tersebut merupakan upaya jahat untuk melemahkan gerakan pemberantasan korupsi.
Menurutnya, serangan kepada KPK dan gerakan anti korupsi sama dengan serangan kepada demokrasi.
Baca: Laode M Syarif Kenang Peresmian Gedung KPK Bersama BJ Habibie
Ia kembali mengingatkan, masyarakat Indonesia tidak boleh lupa bahwa bangsa Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter selama 32 tahun yang berjalan beriringan dengan korupsi, sebagaimana dapat kita lihat dalam TAP MPR X/1998 “terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan”.
"Apa yang diakibatkan oleh korupsi dapat dilihat pada bagian berikutnya TAP MPR X/1998, kondisi ini memberi peluang terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa," katanya.
Saat itu, telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Dengan kata lain korupsi dekat dengan pemerintahan otoritarian baik sebagai tujuan pemerintahan otoriter tersebut atau sebagai alat untuk mempertahankan pemerintahan otoriter itu, serta berujung pada penderitaan rakyat.
"Oleh karenannya, kami mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menagih janji presiden terpilih Jokowi untuk menolak segala bentuk pelemahan KPK. Juga menagih mandat yang sudah diberikan kepada DPR untuk bertindak sesuai Hukum dan Undang-Undang dengan memberantas korupsi dan tidak bertindak sebaliknya melindungi kepentingan para koruptor," tegasnya.
"Kami juga meminta Anggota DPR dan partai politik untuk menghentikan pelemahan KPK dengan tidak memilih Capim KPK bermasalah dan menghentikan pembahasan RUU KPK," katanya.