Mahkamah Konstitusi Uji Materi UU Pilkada
Sebanyak tiga pemohon mempunyai pekerjaan sebagai ketua dan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sidang uji materi perkara nomor 48/PUU-XVII/2019 digelar di ruang sidang pleno lantai II Gedung MK, Selasa (17/9/2019) siang.
Sebanyak tiga pemohon mempunyai pekerjaan sebagai ketua dan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Mereka yaitu, Surya Efitrimen, Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat, Nursari, Ketua Bawaslu Kota Makassar, dan Sulung Muna Rimbawan, anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo.
Pemohon meminta agar Menyatakan frasa "Panwas Kabupaten/ Kota” dałam Pasał I angka 17, Pasał 23 ayat (l) dan ayat (3), Pasał 24 serta Seluruh Pasał dałam Undang-Undang Nomor I Tabun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan sebagaimana perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor I Tahun 2015, konstitusional sepanjang dimaknai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota.
Baca: Sandiaga Uno Tegaskan Mpok Nur Belum Ambil Sikap Ikut Pilkada Tangerang Selatan
Kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, mengatakan pada saat ini "Panwaslu Kabupaten/Kota" sudah tidak ada. Sekarang, kata dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah menjadi lembaga permanen dengan sebutan nomenklatur Bawaslu Kabupaten/Kota.
"Kami menganggap ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum terkait pelaksanaan pilkada di 2020. Di UU Pilkada disebutkan yang namanya panwas dalam pilkada itu panwas yang disebut di UU penyelenggara pemilu yang sudah dilebur menjadi UU Pemilu," kata dia, di gedung MK.
Selain menyoroti mengenai dampak kepastian hukum, kata dia, disharmonisasi antara UU Pemilu dengan UU Pilkada dapat merugikan pihak Bawaslu di tingkat kabupaten/kota.
Hal pertama menyangkut anggaran. Dia menjelaskan, pada saat ini, Bawaslu Kabupaten/Kota mulai merencanakan anggaran.
"Ada namanya Nota Perjanjian Hibah Daerah. Mereka tidak bisa membahas itu karena masih dianggap panwaslu bukan Bawaslu. Ini problem muncul dalam pelaksanan pilkada," kata dia.
Sedangkan hal kedua, kata dia, mengenai lemahnya fungsi pengawasan dari pihak Bawaslu.
"Kami soroti penegakan hukum soal pengawasan. Jadi kalau pengawas pemilu tidak bisa menjalankan optimal kami khawatirkan tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan penegakan hukum secara efektif," tuturnya.
Selain mengenai Frasa Panwas Kabupaten/Kota, kata dia, terdapat dua permohonan lain yang diminta pemohon kepada hakim konstitusi.
Pertama, menyatakan Pasał 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor I Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan sebagaimana perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor I Tahun 2015 sepanjang frasa "masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang", konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 2017.
Kedua, menyatakan Pasal 24 ayat (l) Undang-Undang Nomor I Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tabun 2014 Tentang Pemilihan Gubemur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan sebagaimana perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor I Tahun 2015 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, meminta kepada para pemohon agar menyusun secara cermat dan rinci mengenai hal-hal apa saja yang diinginkan dilakukan perubahan sesuai dengan petitum.
"Pada bagian petitum meminta frase di UU ini dijadikan Bawaslu sementara di bagian posita tidak menyebut pasal. Mestinya menyebut pasal terdapat frasa Panwas kabupaten yang saudara minta dimaknai Bawaslu. Semua istilah yang ada semua istilah dalam UU itu dimaknai Bawaslu. Menjadi tidak sinkron posita dan petitum," tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.