Ricuh Aksi Demo Pegawai KPK: Tugasmu Mengayomi, Pak Polisi, Pak Polisi. . .
"Tugasmu mengayomi, tugasmu mengayomi. Pak polisi, pak polisi, jangan ganggu aksi kami," teriak pegawai KPK.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi protes anggota wadah pegawai KPK sempat ricuh di halaman Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2019).
Aksi tersebut menyikapi Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan DPR.
Keadaan sempat memanas ketika para pegawai KPK menyanyikan lagu Gugur Bunga sebelum menutup aksi.
Saat itu, ada teriakan dari luar kelompok pegawai KPK. Akhirnya, nyanyian terhenti.
Dalam waktu bersamaan, ada kelompok lain yang juga berunjuk rasa di depan Gedung KPK.
Mereka mengaku mendukung revisi UU KPK. Setelah teriakan tersebut, Kapolsek Setiabudi AKBP Tumpak berdebat dengan seorang peserta aksi dari KPK.
Sontak, peristiwa itu mencuri perhatian peserta aksi lain yang langsung menyoraki Kapolsek.
"Tugasmu mengayomi, tugasmu mengayomi. Pak polisi, pak polisi, jangan ganggu aksi kami," teriak pegawai KPK.
Setelah itu, Tumpak langsung meninggalkan lokasi dan situasi mereda.
Tumpak mengaku berusaha meredam suasana agar tidak terjadi bentrok dengan massa yang sedang menggelar aksi di luar Gedung KPK.
Baca: Dua Surat Xananao Gusmao untuk Keluarga Almarhum BJ Habibie
"Yang massa di sini kan harus diam, nah masa di sana (dalam gedung) KPK biar diam ya. biar nggak bentrok. Gitu loh. Semua aman-aman saja," kata dia saat dikonfirmasi di lokasi.
Baca: Ada Banyak Kenangan Bersama Ashanty, Anang Hermansyah Rela Rumah Mewahnya Dijual
Pantauan Kompas.com saat ini situasi depan gedung KPK sudah kondusif.
Sebelumnya, para pegawai KPK mengibarkan bendera kuning di depan gedung KPK.
Baca: Korban Kecelakaan di Tol Jagorawi Sering Bertemu di Rumah Ini untuk Bisnis Tanaman Herbal
Mereka keluar secara bersamaan. Masing-masing memegang bendera kuning, tanda duka cita.
Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan pegawai KPK atas Revisi UU KPK yang telah disahkan DPR.
Pemerintah dan DPR hanya membutuhkan waktu 12 hari untuk membahas revisi UU KPK. Mereka menganggap situasi KPK saat ini sedang dalam masa krisis. Mereka merasa KPK dilemahkan.
"Kedekatan emosional karena mencintai KPK inilah yang membuat suasana sendu ketika KPK dikebiri."
"Hanya koruptor yang akan tertawa melihat KPK menjadi lemah seperti ini. Mereka seolah-olah menemukan kebebasan setelah 16 tahun dalam ketakutan akibat bayang-bayang OTT KPK," kata Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo dalam keterangan persnya.
"Karena entah besok KPK akan dimiliki siapa. Karena dengan revisi ini, KPK tidak seperti dulu lagi, gedung tetap ada namun nilai-nilainya tergerus," tambah dia.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya disahkan dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Berdasarkan rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah, Senin (16/9/2019), ada tujuh poin perubahan pada UU KPK yang disepakati.
Ketujuh poin tersebut, yakni soal status kedudukan kelembagaan KPK, Dewan Pengawas KPK, pembatasan fungsi penyadapan, mekanisme penerbitan SP3 oleh KPK, koordinasi KPK dengan penegak hukum, pekanisme penyitaan dan penggeledahan, dan status kepegawaian KPK.
Berikut ketujuh poin tersebut disertai catatan kritik yang dihimpun dari aktivis antikorupsi dan akademisi:
1. Status Kedudukan Kelembagaan KPK
Setelah direvisi, status kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif, tetapi tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen.
Hal ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36 Tahun 2017.
Pada UU KPK sebelum direvisi, KPK disebut hanya lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
2. Dewan Pengawas KPK
Setelah UU KPK direvisi, tim penasihat KPK dihapus dan digantikan oleh dewan pengawas yang terdiri dari satu ketua dan empat anggota dan dipilih oleh presiden.
Dewan pengawas nantinya memiliki kewenangan melaksanakan tugas dan wewenang KPK, memberi/tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Selain itu juga menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali.
Dewan pengawas juga wajib melaporkan kinerja ke presiden dan DPR setahun sekali.
Keberadaan dewan pengawas yang masuk ke dalam teknis penanganan perkara sempat dikritik.
Dewan pengawas dinilai berpotensi mengganggu proses penanganan perkara karena dugaan konflik kepentingan.
3. Pembatasan Fungsi Penyadapan oleh KPK
Setelah UU KPK direvisi, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap.
Dewan pengawas memberikan izin penyadapan dalam waktu 1×24 jam.
UU KPK mengatur jangka waktu penyadapan selama 6 bulan dan dapat diperpanjang satu kali dalam jangka waktu yang sama.
KPK juga wajib memusnahkan hasil penyadapan yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK.
Pihak yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana.
4. Mekanisme Penerbitan SP3 oleh KPK
KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap perkara tipikor yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun.
SP3 juga harus dilaporkan ke dewan pengawas paling lambat satu minggu sejak dikeluarkannya SP3.
Catatan Kompas.com, ada diskriminasi terkait kewenangan SP3 ini di antara KPK, Polri, dan Kejaksaan.
Di kedua lembaga itu, kewenangan SP3 tidak dibatasi waktu.
Pembatasan hanya berdasarkan kedaluwarsa perkara sesuai ancaman hukuman.
Berdasarkan putusan MK, ketiadaan kewenangan SP3 tidak melanggar HAM, justru KPK lebih dituntut berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Ini juga bisa menutup celah makelar kasus.
5. Koordinasi KPK dengan Penegak Hukum
KPK wajib berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
KPK juga bisa mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan dan penuntutan.
Sementara pasal sisipan dihapus, yakni Pasal 12A, terkait keharusan KPK berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan dihapus.
Pemerintah mengusulkan pasal ini untuk dihapus.
6. Mekanisme Penyitaan dan Penggeledahan
Setelah UU KPK direvisi, sebelum melakukan penggeledahan dan penyitaan, KPK mesti meminta izin tertulis dari dewan pengawas.
Dewan pengawas bisa memberi/tidak memberi izin dalam waktu 1x24 jam sejak permintaan diajukan.
Hal ini diatur dalam Pasal 47 ayat 1 dan 2.
Pada UU KPK sebelumnya, KPK tidak perlu meminta izin kepada siapa pun untuk menggeledah dan menyita, selama ada dugaan kuat serta bukti permulaan yang cukup.
7. Status Kepegawaian KPK
Status kepegawaian KPK sebagai ASN dan tunduk pada ketentuan UU ASN. Pengangkatan pegawai juga sesuai UU ASN.
Status pegawai KPK ini juga sempat jadi kritik.
Sebab, apabila pegawai KPK menjadi ASN, ditengarai bisa mengganggu independensi pegawai KPK, terlebih lagi yang ditangani adalah pejabat negara yang statusnya lebih tinggi dari pegawai tersebut.
Begitu pula saat melakukan pencegahan, berpotensi tidak optimal karena yang disuruh adalah penyelenggara negara dengan tingkatan lebih tinggi.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Pegawai KPK Nyanyi Gugur Bunga, Aksi Berakhir Ricuh
Penulis : Walda Marison