Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wiranto Sebut Pimpinan KPK Rentan Salahgunakan Kekuasaan Jika Tak Ada Dewan Pengawas

Menurutnya, penyalahgunaan kekuasaan tersebut bisa terjadi saat ingin melakukan penyadapan

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Imanuel Nicolas Manafe

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menilai hadirnya dewan pengawas di lembaga KPK dapat menghindarkan penyelahgunaan kekuasaan oleh pimpinan lembaga antirasuah itu. 

"Dengan pengawas, maka tuduhan kesewenang-wenangan itu tidak akan ada, tidak akan terjadi abuse of power (penyalagunaan kekuasaan)," ujar Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (19/9/2019).

Baca: BREAKING NEWS: KPK Tetapkan Imam Nahrawi Sebagai Tersangka Kasus Suap Dana Hibah KONI

Menurutnya, penyalahgunaan kekuasaan tersebut bisa terjadi saat ingin melakukan penyadapan.

Sehingga pimpinan KPK harus meminta izin terlebih dahulu kepada dewan pengawas untuk menyadap seseorang yang diduga terlibat kasus korupsi. 

"Bicara hak asasi manusia, penyadapan itu melanggar hukum tapi untuk kebutuhan penyidikan tentang tindak pindana korupsi itu diizinkan. Kalau izin itu tidak terbatas, seenaknya tentu ada tuduhan sewenang-wenang," papar Wiranto. 

Baca: Imam Nahrawi Jadi Menteri Kedua yang Tersandung Kasus Suap di Era Jokowi-JK

Oleh sebab itu, kata Wiranto, kehadiran dewan pengawas dapat menghindarkan tuduhan tersebut dan memperkuat legitimasi tindakan KPK ke depannya. 

Berita Rekomendasi

"Jadi kadang-kadang orang keliru, 'wah itu melemahkan karena pengawasnya'. Padahal dengan dewan pengawas, legitimasinya bisa lebih dijamin," ucap Wiranto

Minta publik tak curiga terhadap Jokowi

Wiranto juga meminta masyarakat agar tidak menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pro terhadap pemberantasan korupsi pascarevisi UU KPK disahkan DPR. 

"Jangan curiga terhadap pemerintah, Presiden, yang seakan beliau ingkar janji. Seakan-akan beliau tidak pro pemberantasan korupsi dan sebagainya," ujar Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (18/9/2019). 

Baca: Bantah Pernyataan Fahri Hamzah, Istana Tegaskan Jokowi Tidak Terganggu KPK

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Presiden menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Warta Kota/henry lopulalan
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Presiden menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Warta Kota/henry lopulalan (Warta Kota/henry lopulalan)

Wiranto menjelaskan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah berusia 17 tahun dan tidak ada Undang-Undang di negara ini bersifat abadi. 

"Undang-Undang itu dibuat dalam kondisi objektif saat itu, tapi kan kondisi ini berubah. Oleh sebab itu, Undang-Undang tidak boleh kaku, harus ikut perubahan," tutur Wiranto

Menurutnya, UU KPK saat ini bertujuan untuk memperkuat lembaga antirasuah dalam menjalankan tugasnya melakukan pencegahan maupun pemberantasan korupsi di tanah air. 

Baca: Projo Dukung Jokowi Pilih Menteri Muda

Ia mencontohkan, KPK yang saat ini masuk ke dalam ranah eksekutif, hanya merupakan implementasi dari keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017. 

"Keputusan MK itu final dan mengikat. Walaupun KPK ranah eksekutif tapi pelaksanaan tugas, kewenangan ini bebas dari pengaruh kekuasaan manapun," tutur Wiranto.

MK terima pengajuan uji materiil

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima berkas permohonan uji materi atau judicial review terhadap berlakunya hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah disahkan melalui paripurna di DPR RI.

Berdasarkan informasi yang disampaikan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, MK sudah menerima satu permohonan uji materi undang-undang itu yang diajukan pada Rabu (18/9/2019).

Pada berkas permohonan itu tercatat ada 18 pemohon yang berasal dari berbagai latar belakang mulai dari mahasiswa, politisi dan wiraswasta.

Salah satu poin pada pokok perkara yang diminta pemohon berupa menyatakan pembentukan hasil revisi UU KPK tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

Baca: Mengenang Sang Ayah, Ilham Habibie: Seorang yang Tidak Membedakan, Semua Dirangkul

"Diterima di kepaniteraan iya, karena tidak boleh MK menolak perkara," kata Fajar, saat dihubungi, Rabu (18/9/2019).

Setelah menerima permohonan uji materi, kata dia, langkah selanjutnya adalah diproses sesuai hukum acara. Pihaknya akan memverifikasi kelengkapan permohonan.

Sesudah lengkap sejumlah persyaratan yang diminta, seperti permohonan tertulis, identitas Pemohon (sebagai alat bukti), daftar alat bukti, dan alat bukti, maka pihaknya akan melakukan registrasi permohonan.

"Kalau sudah diregistrasi baru disidangkan," ujarnya.

Meskipun di undang-undang itu belum diberikan nomor, dia menegaskan, pihaknya akan tetap memproses permohonan uji materi.

"Bahwa undang-undang dimaksud belum diundangkan, belum ada nomor, maka sebetulnya belum ada objectum litisnya. Langkah selanjutnya, diproses sesuai hukum acara," kata dia.

Sebab, dia menambahkan, dapat saja pada masa tahapan proses registrasi hingga masuk tahapan persidangan pengujian undang-undang, undang-undang yang diujikan sudah diberikan nomor.

"Bisa saja dalam perjalanan permohonan, UU itu diundangkan. Atau kalau belum sekiranya diregistrasi, hal itu akan dinasihatkan majelis hakim kepada pemohon ketika sidang pendahuluan," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas