Buya Syafii Maarif: KPK Tidak Suci, Tapi Wajib Dibela dan Diperkuat
Menurut Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, langkah DPR dan pemerintah tersebut terburu-buru
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK yang telah direvisi.
Menurut Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, langkah DPR dan pemerintah tersebut terburu-buru.
Baca: BPK: KemenPUPR, Kemenpora, KPK dan KPU Dapat Opini WDP, Bakamla Disclaimer
Syafii Maarif menyayangkan sekaligus mengkritik proses revisi karena pimpinan KPK sendiri tidak diajak diskusi.
"Kelemahannya kemarin, prosedurnya. KPK tidak diajak berunding oleh Menteri HAM dan DPR," kata Buya Syafii seusai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Meski demikian, kehadirannya di Istana bukan secara khusus untuk berkomunikasi mengenai revisi UU KPK dengan Presiden.
Syafii Maarif mengaku memberikan masukan soal penyusunan kabinet untuk periode kedua pemerintahan Jokowi bersama Kiai Haji Maruf Amin.
Syafii Maarif melanjutkan, substansi UU KPK versi revisi sesungguhnya tidak bisa dilihat secara hitam putih dan masih bisa didiskusikan dengan berbagai pihak terkait.
Sayangnya, lanjut Buya Syafii Maarif, hal tersebut tidak dilakukan oleh DPR dan pemerintah.
"Misalnya, ada usul dewan pengawas. Sesungguhnya bisa didiskusikan itu. Tapi kan kemarin langsung digitukan (disahkan). Jadi terbakarnya teman-teman ini," kata Syafii Maarif.
Syafii Maarif menekankan, KPK memang jauh dari kesucian.
Namun, dalam konteks pelemahan, lembaga antikorupsi itu wajib dibela.
"KPK itu wajib dibela, diperkuat, tapi bukan suci lho KPK itu. Itu harus diingat, bukan suci. Itu saja," kata anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini.
Revisi UU KPK sebelumnya telah disahkan menjadi UU oleh DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna, Selasa (17/9/2019).
Pengesahan itu menuai kritik karena dilakukan terburu-buru tanpa mendengarkan masukan dari masyarakat sipil dan unsur pimpinan KPK.
Sejumlah pasal dalam UU KPK hasil revisi juga dinilai bisa melemahkan KPK, misalnya KPK yang berstatus lembaga negara, pegawai KPK yang berstatus ASN, dibentuknya dewan pengawas, penyadapan harus seizin dewan pengawas, hingga kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Baca: Buya Syafii Sebut KPK Tak Suci Tapi Wajib Dibela
Sehari sebelum pengesahan revisi UU KPK, Presiden Jokowi sebenarnya sudah sempat dijadwalkan bertemu pimpinan KPK.
Namun, pertemuan itu batal. (Ihsanuddin)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Buya Syafii Maarif: KPK Tidak Suci, tetapi Wajib Dibela...
UU KPK hasil revisi digugat ke MK
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima berkas permohonan uji materi atau judicial review terhadap berlakunya hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah disahkan melalui paripurna di DPR RI.
Berdasarkan informasi yang disampaikan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, MK sudah menerima satu permohonan uji materi undang-undang itu yang diajukan pada Rabu (18/9/2019).
Pada berkas permohonan itu tercatat ada 18 pemohon yang berasal dari berbagai latar belakang mulai dari mahasiswa, politisi dan wiraswasta.
Salah satu poin pada pokok perkara yang diminta pemohon berupa menyatakan pembentukan hasil revisi UU KPK tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Baca: Mengenang Sang Ayah, Ilham Habibie: Seorang yang Tidak Membedakan, Semua Dirangkul
"Diterima di kepaniteraan iya, karena tidak boleh MK menolak perkara," kata Fajar, saat dihubungi, Rabu (18/9/2019).
Setelah menerima permohonan uji materi, kata dia, langkah selanjutnya adalah diproses sesuai hukum acara. Pihaknya akan memverifikasi kelengkapan permohonan.
Sesudah lengkap sejumlah persyaratan yang diminta, seperti permohonan tertulis, identitas Pemohon (sebagai alat bukti), daftar alat bukti, dan alat bukti, maka pihaknya akan melakukan registrasi permohonan.
"Kalau sudah diregistrasi baru disidangkan," ujarnya.
Meskipun di undang-undang itu belum diberikan nomor, dia menegaskan, pihaknya akan tetap memproses permohonan uji materi.
"Bahwa undang-undang dimaksud belum diundangkan, belum ada nomor, maka sebetulnya belum ada objectum litisnya. Langkah selanjutnya, diproses sesuai hukum acara," kata dia.
Sebab, dia menambahkan, dapat saja pada masa tahapan proses registrasi hingga masuk tahapan persidangan pengujian undang-undang, undang-undang yang diujikan sudah diberikan nomor.
"Bisa saja dalam perjalanan permohonan, UU itu diundangkan. Atau kalau belum sekiranya diregistrasi, hal itu akan dinasihatkan majelis hakim kepada pemohon ketika sidang pendahuluan," katanya.