Anggota DPR Ngaku Susun RKUHP Pakai Perasaan dan Kadang 'Suka-suka Saja'
Hal itu ia katakan dalam merespons soal bobot ancaman pidana dalam RKUHP yang cenderung tidak proporsional.
Editor: Hasanudin Aco
![Anggota DPR Ngaku Susun RKUHP Pakai Perasaan dan Kadang 'Suka-suka Saja'](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/revisi-kuhp-nih2.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Panja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) DPR Nasir Djamil mengakui bahwa dalam proses pembahasannya, rasionalisasi penerapan pemidanaan di RKUHP belum sempurna.
Hal itu ia katakan dalam merespons soal bobot ancaman pidana dalam RKUHP yang cenderung tidak proporsional.
"Memang harus diakui dalam dialog di Panja itu, rasionalisasi pemidanaan memang belum sempurna," ujar Nasir saat dihubungi wartawan, Jumat (20/9/2019).
Dalam draf RKUHP, perempuan yang menggugurkan kandungannya atau melakukan aborsi terancam dipenjara lebih lama dari narapidana kasus korupsi.
Pelaku aborsi diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun. Sementara itu, pada pasal tindak pidana korupsi, diterapkan pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun atau seumur hidup.
Baca: DPR RI Akhirnya Tunda Pengesahan RKUHP
Baca: Isu RKUHP Mencuat, Ahli Temukan Hal Unik di Twitter, Khususnya Sikap Rocky Gerung dan Said Didu
![Massa menggelar aksi menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/9/2019). Aksi yang diwakili oleh buruh, mahasiswa, dan rakyat sipil ini menolak DPR mengesahkan RKUHP yang dianggap dapat mengancam rakyat Indonesia. Tribunnews/Muhammad Iqbal Firdaus](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/aksi-unjuk-rasa-menolak-pengesahan-rkuhp_20190916_202105.jpg)
Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan terpidana kasus korupsi dipidana minimal 2 tahun, sedangkan pelaku aborsi mungkin dipidana maksimal 4 tahun sehingga pidananya lebih tinggi dari pelaku korupsi.
Nasir pun mengakui, tidak ada standar atau metode khusus yang digunakan untuk menentukan besaran ancaman pidana.
Ia mengatakan, ancaman pidana seringkali mengadopsi aturan perundang-undangan lain dan KUHP sebelum revisi.
"Pemidanaan ini sering mengadopsi peraturan perundang-undangan lain dan juga KUHP lama. Jadi artinya belum ada pertimbangan yang rasional," kata dia.
Kendati demikian, kata Nasir, penentuan ancaman pidana juga dilakukan dengan cara lain, yakni menggunakan perasaan atau penyesuaian.
"Kadang-kadang mohon maaf juga, ya kadang-kadang suka-suka saja begitu, contohnya nih segini, cocoknya segini, pakai rasa (perasaan) dia, tetapi kenapa segitu ya tidak ada penjelasan. Itu bukan umum ya, itu pendapat saya," ucap politisi PKS itu.
![Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/dpr-020919-1.jpg)
Sebelumnya, Institute for Criminal and Justice System (ICJR) pernah mengkritik pengaturan tentang bobot hukuman.
Mereka menilai, sampai saat ini pemerintah belum pernah mempresentasikan ke publik mengenai metode atau pengaturan bobot hukuman.
Hal ini rawan menghasilkan ancaman pidana yang tidak proporsional dan mengakibatkan jumlah pemenjaraan meningkat drastis.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.