Komnas Perempuan Sebut Ada 6 Pasal di Dalam RKUHP Ancam Anak dan Perempuan, Berikut Ulasannya
Enam pasal di dalam RKUHP yang jika diimplementasikan, akan menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Perempuan membeberkan enam pasal dalam RKUHP yang jika diimplementasikan, akan menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan.
Kelompok rentan menurut Komnas Perempuan yakni anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dan sebagainya.
Pertama, pasal 2 ayat (1) dan (2) tentang Hukum yang Hidup di Masyarakat.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menilai masalah dalam pasal tersebut ada pada tidak adanya batasan yang jelas tentang hukum yang hidup dalam masyarakat di tengah beragamnya hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan di masyarakat.
Menurutnya, hal itu mengakibatkan hilangnya jaminan kepastian hukum sebagai prinsip utama hukum pidana, dan melanggar asas legalitas.
Selain itu, rumusan pasal tersebut akan meningkatkan potensi kesewenangan dalam penegakannya, menyuburkan overkriminalisasi bagi kelompok rentan, dan menjadi pembenar diproduksinya kebijakan daerah yang diskriminatif.
"Kehadiran pasal ini juga akan memperburuk praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini yang sudah berlangsung di masyarakat," kata Azriana ketika dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (20/9/2019).
Kedua, pasal 412 tentang Kesusilaan di Muka Umum.
Baca: Massa Mulai Geruduk Gedung KPK, Kepolisian Perketat Pengamanan
Menurutnya, penjelasan frasa “di muka umum” dalam pasal tersebut berpotensi melindungi pihak-pihak yang memiliki privilege untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan.
"Namun hal itu justru merentankan kelompok miskin karena tempat tinggal dan lokus mobilitasnya yang mudah dilihat, didatangi dan disaksikan oleh pihak-pihak lain," kata Azriana.
Ketiga, pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan.
Menurutnya, rumusan penjelasan pada pasal itu berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana.
"Tidak adanya kejelasan siapa yang dimaksud 'relawan dan pejabat yang berwenang' berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV atau AIDS," kata Azriana.
Keempat, pasal 419 tentang Hidup Bersama.
Menurutnya, kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri dalam draft terbaru telah ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”.
Padahal menurutnya dalam draft sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.
Sehingga perubahan itu akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini.
"Secara substansi penggunaan istilah “kepala desa atau dengan sebutan lainnya” adalah bentuk manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan," kata Azriana.
Kelima, pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan.
Menurutnya pasal itu akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.
Ia menilai, pasal itu tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan.
Karena menurutnya kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70% angka kematian ibu.
Ia menilai dalam hal ini perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RKUHP dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara utuh.
Selain itu menurutnya, pasal itu juga akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis.
"Padahal pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan," kata Azriana.
Keenam, pasal 467 tentang Larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida).
Menurutnya, rumusan pasal itu diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah).
"Padahal fakta di masyarakat laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Karena asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan," jelas Azriana.
Untuk itu ia meminta kepada Presiden dan DPR RI agar pengesahan RKUHP ditunda sampai dilakukan penelitian yang komprehensif.
Penuh nuansa kolonialisme
Baca: Tunda Pengesahan RKUHP, Presiden Didesak Segera Terbitkan Perppu KPK
Sementara itu, Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai, nuansa kolonialisme begitu kental terasa dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sejumlah pasal dalam RKUHP dianggap bermasalah dan justru mengembalikan Indonesia ke masa sebelum merdeka.
"Nuansa bahwa itu kembali ke kolonialisme jadi lebih terasa dibandingkan slogan para pembentuk RKUHP yang mengatakan ini adalah dekolonialisasi. Jadi berseberangan," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
Menurut Feri, beberapa pasal dalam RKUHP memang bermasalah.
Misalnya, Pasal 432 yang menyatakan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Denda yang dikenakan mencapai Rp 1 juta.
Belum lagi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Dalam Pasal 218 diatur, setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp 150 juta.
Kemudian, Pasal 219 menyebut bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp 150 juta.
Oleh karena itu, alih-alih semakin memerdekan bangsa, RKUHP justru semakin memenjarakan masyarakat Indonesia.
"Di mana dekolonialisasinya? Bahkan lebih bisa dikatakan mirip dengan semangat kolonial untuk memenjarakan beberapa hal yang kemudian berseberangan dengan ke-Indonesia-an kita," ujar Feri.
Atas hal tersebut, Feri berpendapat, wajar jika RKUHP mendapat penolakan yang masif dari masyarakat.
Baca: Komnas HAM Nilai Ada Kesalahan Paradigma Pelanggaran HAM Berat dalam Buku Kedua RKUHP
Tidak heran jika mahasiswa hingga berbagai elemen pegiat berunjuk rasa menunjukan sikap penolakan mereka.
"Wajar saja mereka menolak, ya karena beberapa hal kemudian dianggap justru berseberangan dengan pola kehidupan yang mereka jalani," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu. (Fitria Chusna Farisa)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: RKUHP Dinilai Kental Nuansa Kolonialisme yang Memenjarakan
Terlalu jauh atur hak warga negara
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyatakan, sejumlah pasal dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terlalu jauh mengatur hak konstitusional hak warga negara.
Menurutnya, hal itu berpotensi merusak komitmen negara untuk membangun perlindungan hak sipil politik warga negara yang telah berjalan sejak demokrasi diterapkan di negeri ini atau 20 tahun lalu.
"Sejumlah delik memuat pasal karet. Misalnya delik kesusilaan menunjukkan negara terlalu jauh mengatur hak konstitusional warga negara yang bersifat privat," ujar Bayu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (19/9/2019).
Dia menjelaskan, kesepakatan DPR dan pemerintah untuk memasukkan delik di ranah privat tidak dipertimbangkan dengan baik dengan tak merujuk pada nilai-nilai demokrasi Pancasila.
Contohnya Pasal 419 Ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dapat dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 10 juta.
Kemudian pasal kontroversial lainnya ialah Pasal 417 Ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan.
Sanksinya pun dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.
Ia mengkhawatirkan, apabila dipaksakan untuk disahkan, sejumlah ketentuan dalam RKUHP bisa menimbulkan masalah bagi kehidupan masyarakat.
"Kehadiran RKUHP ini justru berdampak pula pada pengekangan kebebasan sipil," ucap Bayu.
Pengekangan kebebasan hak sipil tersebut, lanjutnya, nampak pada pasal-pasal dalam RKUHP yang tidak relevan untuk kehidupan demokrasi.
Seperti delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden yang tercantum pada Pasal 218-220, lalu delik penghinaan terhadap lembaga negara di Pasal 353-354, serta delik penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang dimuat pada Pasal 240-241.
Bayu juga menekankan, dalam prosedur RKUHP, proses yang dilakukan dalam rapat-rapat tertutup tentu mengabaikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Ini juga menunjukkan kegagalan para anggota DPR menjalankan mandat sebagai wakil rakyat," kata Bayu. (Christoforus Ristianto)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: RKUHP Dinilai Terlalu Jauh Atur Hak Warga Negara
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.