Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Bertentangan dengan Konstitusi Hingga Bernuansa Kolonialisme

"MK sampai ngomong begitu. Ketika itu ada nanti, maka sebenarnya kita membangkang dari konstitusi," katanya

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Bertentangan dengan Konstitusi Hingga Bernuansa Kolonialisme
Gita Irawan
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyampaikan tujuh catatan sebagai alasan kuat untuk menolak pengesahan RKUHP dengan rumusan yang saat ini ada yakni draft tertanggal 29 Juni 2019 saat konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat pada Senin (26/8/2019). 

Tidak heran jika mahasiswa hingga berbagai elemen pegiat berunjuk rasa menunjukan sikap penolakan mereka.

"Wajar saja mereka menolak, ya karena beberapa hal kemudian dianggap justru berseberangan dengan pola kehidupan yang mereka jalani," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu. (Fitria Chusna Farisa)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: RKUHP Dinilai Kental Nuansa Kolonialisme yang Memenjarakan

Terlalu jauh atur hak warga negara

Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi berunjuk rasa menolak pengesahan tahap I Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/9/2019). Mereka membawa sejumlah poster berisi tuntutan menolak pengesahan RKUHP karena merupakan bentuk pemenjaraan terhadap demokrasi. Warta Kota/Alex Suban
Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi berunjuk rasa menolak pengesahan tahap I Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/9/2019). Mereka membawa sejumlah poster berisi tuntutan menolak pengesahan RKUHP karena merupakan bentuk pemenjaraan terhadap demokrasi. Warta Kota/Alex Suban (Warta Kota/Alex Suban)

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyatakan, sejumlah pasal dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terlalu jauh mengatur hak konstitusional hak warga negara.

Menurutnya, hal itu berpotensi merusak komitmen negara untuk membangun perlindungan hak sipil politik warga negara yang telah berjalan sejak demokrasi diterapkan di negeri ini atau 20 tahun lalu.

"Sejumlah delik memuat pasal karet. Misalnya delik kesusilaan menunjukkan negara terlalu jauh mengatur hak konstitusional warga negara yang bersifat privat," ujar Bayu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (19/9/2019).

Dia menjelaskan, kesepakatan DPR dan pemerintah untuk memasukkan delik di ranah privat tidak dipertimbangkan dengan baik dengan tak merujuk pada nilai-nilai demokrasi Pancasila.

Berita Rekomendasi

Contohnya Pasal 419 Ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dapat dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 10 juta.

Kemudian pasal kontroversial lainnya ialah Pasal 417 Ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan.

Sanksinya pun dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.

Ia mengkhawatirkan, apabila dipaksakan untuk disahkan, sejumlah ketentuan dalam RKUHP bisa menimbulkan masalah bagi kehidupan masyarakat.

"Kehadiran RKUHP ini justru berdampak pula pada pengekangan kebebasan sipil," ucap Bayu.

Pengekangan kebebasan hak sipil tersebut, lanjutnya, nampak pada pasal-pasal dalam RKUHP yang tidak relevan untuk kehidupan demokrasi.

Seperti delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden yang tercantum pada Pasal 218-220, lalu delik penghinaan terhadap lembaga negara di Pasal 353-354, serta delik penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang dimuat pada Pasal 240-241.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas