Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Demo Mahasiswa Berlangsung di Sejumlah Daerah, Mengapa Jokowi Belum Bersuara?

Aksi massa di sejumlah daerah terjadi sejak awal pekan, Senin (23/9/2019) hingga Rabu (25/9/2019) kemarin.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Demo Mahasiswa Berlangsung di Sejumlah Daerah, Mengapa Jokowi Belum Bersuara?
Warta Kota/henry lopulalan
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Presiden menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Warta Kota/henry lopulalan 

Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?

5. Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK.

Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga: Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya; Dewan Pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK.

Presiden Joko Widodo (dua kiri) didampingi Mensesneg Pratikno (kiri) menjawab pertanyaan wartawan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Presiden menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Warta Kota/henry lopulalan
Presiden Joko Widodo (dua kiri) didampingi Mensesneg Pratikno (kiri) menjawab pertanyaan wartawan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Presiden menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Warta Kota/henry lopulalan (Warta Kota/henry lopulalan)

Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK

6. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.

7. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan;

8. Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun); Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e); Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat. Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden.

Wadah Pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi teratrikal di lobi gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/9/2019) malam. Aksi teatrikal dengan mengibarkan bendera kuning serta menaburkan bunga bertujuan untuk merenungi situasi yang terjadi di KPK setelah adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Wadah Pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi teratrikal di lobi gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/9/2019) malam. Aksi teatrikal dengan mengibarkan bendera kuning serta menaburkan bunga bertujuan untuk merenungi situasi yang terjadi di KPK setelah adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)
BERITA REKOMENDASI

Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun. Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah.

9. Pemangkasan kewenangan Penyelidikan Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan;

10. Pemangkasan kewenangan Penyadapan Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi.

Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu: Dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang Penindakan Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu.

Terdapat resiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan Penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.

11. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK;

12. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.

Yaitu: Pasal 6 huruf a yang menyebutkan, KPK bertugas melakukan: a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap.

13. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK .

Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.

 Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan tersebut; Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya.

14. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus; Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.

Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri;

15. Berkurangnya kewenangan Penuntutan Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”.

Padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa. Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan.

Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di Penuntutan;

16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.

17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;

18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;

19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.

Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar.

Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.

20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti:

Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu.

Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;

21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah.

Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.

22. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;

23. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11) Sesuai dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang meresahkan masyarakat.

Baca: Banyak Kekerasan terhadap Wartawan, LBH Pers Desak Dewan Pers Segera Aktifkan Pedoman Khusus

24. KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri.

25. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan Keluhan selama ini tidak adanya sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur;

Baca: Jokowi Tetap Tolak Cabut UU KPK, Korban Mahasiswa Berjatuhan

Kendala Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini.

Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat Kerja Pencegahan KPK;

26. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi.

Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan publik akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan. ADVERTISING Baca berikutnya

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Ini 26 Poin dari UU KPK Hasil Revisi yang Berisiko Melemahkan KPK

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas