Kewenangan Terbitkan SP3 Rawan Disalahgunakan untuk Lindungi Koruptor
Sejumlah pengamat hukum menilai, pemberian SP3 kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi UU KPK yang disahkan DPR RI memang sarat kontroversi. Salah satu pasal yang dipersoalkan publik dan para pegiat antikorupsi adalah kewenangan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
Kalangan pengamat hukum menilai SP3 kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Menurut para pengamat hukum tersebut, saat ini publik berharap pro kontra revisi UU KPK tidak terkesan dimanfaatkan untuk menyelamatkan orang-orang tertentu yg sudah dinyatakan tersangka oleh KPK. Hal itu juga menjadi ujian bagi KPK apakah akan mengeluarkan SP3 bagi tersangka yang kasusnya masih dalam tahap penyidikan KPK.
Pengamat hukum asal Yogyakarta, Hifdzil Alim menyatakan, pemberian SP3 sudah diatur dalam KUHAP dan pakem KPK tidak memiliki kewenangan tersebut.
"Ketika nanti KPK diberi kewenangan menerbitkan SP3 bisa muncul kesan pengaturan yang menjadi jalan masuk untuk cuci perkara. Ini juga akan kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi," katanya Kamis (26/9/2019).
Menurutnya, di tengah semangat pemberantasan korupsi yang sedang dipacu saat ini, sungguh tak lazim mengubah UU KPK dengan materi-materi yang seperti sudah diatur pihak-pihak tertentu.
Baca: Menunggui Sejak Semalam, Sejumlah Orang Tua Minta Polisi Pastikan Keselamatan Anak Mereka
Pernyataan senada juga diungkapkan Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo. Dia menilai kekuatan besar KPK pada kehati-hatiannya dalam menangani perkara korupsi. Dengan sikap demikian sangat tidak dimungkinkan KPK ceroboh dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Baca: Rincian Lengkap 26 Poin UU KPK Hasil Revisi yang Berpotensi Melemahkan KPK
Sedangkan jika KPK memiliki kewenangan menerbitkan SP3, Adnan khawatir kinerja lembaga antirasuah tidak hati-hati lagi atau bisa diragukan. Dia mensinyalir kinerja KPK akan sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Banyak kasus yang jalan di tempat.
“Dengan wewenang SP3 yang dimiliki kepolisian dan kejaksaan, kasus-kasus korupsi dan pidana lain banyak yang mangkrak. Tidak jelas statusnya. Semakin tidak memberikan kepastian hukum,” ujarnya.
Adnan melanjutkan, syarat SP3 dalam KUHAP ada tiga. Yaitu, tidak ada bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana, atau tersangka meninggal dunia.
Karena dianggap tak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi, Adnan menyebut pihaknya akan segera mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Ismail Ramadhan, menilai wajar penolakan publik terhadap UU KPK yang baru saja disahkan DPR.
Menurutnya, sampai saat ini publik tetap menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena-karena itu cara penanganannya juga harus luar biasa.
"Publik menangkap kesan UU KPK tersebut justeru melemahkan lembaga tersebut," ujarnya, Kamis (26/9) di Jakarta.
Ismail menyebut pasal tentang pegawai dan penyidik KPK yang harus berstatus ASN berpotensi mengganggu proses penyelidikan yang sedang diungkap lembaga tersebut.
"Saat ini 80% pegawai KPK bukan ASN, padahal undang-undang KPK yang baru menyebutkan berlaku sejak diundangkan. Ini jelas berpotensi mengganggu kinerja KPK," imbuhnya.
Ismail menilai pasal lainnya yang juga berpotensi melemahkan KPK adalah pemberian Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) bagi tersangka yang kasusnya sudah berjalan selama 2 tahun. Padahal, menurutnya, tidak adanya kewenangan SP3 bagi KPK membuat lembaga tersebut dituntut punya alasan yang sangat kuat dalam menetapkan status tersangka.
Ismail menduga munculnya tuntutan dari sejumlah pihak agar KP3 diberi kewenangan menerbitkan SP3 merupakan modus untuk melindungi kroni-kroninya yang tersangkut perkara korupsi.