Kontroversi Film G30S: Fakta Adegan Penyiksaan hingga Sosok di Balik Penghentian Penayangan Film
Film G30S mengisahkan upaya percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan membunuh sejumlah jenderal TNI.
Penulis: Daryono
Editor: Gigih
Kontroversi Film G30S: Fakta Adegan Penyiksaan hingga Sosok di Balik Penghentian Penayangan Film
TRIBUNNEWS.COM - Berbicara tentang peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal TNI pada 30 September 1965 tentu sulit rasanya lepas dari Film Penumpasan Pengkhianatan G30 S PKI (G30S).
Di masa Orde Baru, film karya Arifin C Noer ini diputar setiap 30 September malam.
Film G30S mengisahkan upaya percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan membunuh sejumlah jenderal TNI.
Dirilis perdana pada 1984 selama 13 tahun hingga kemudian dihentikan penanyangannya pada 1998, film G30S diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PFN).
Baca: Film G30S, Penulis Ini Ungkap Kesaksian saat Film Diputar Perdana di Bioskop: Teman Saya Menangis
Mengutip Intisari, film ini diakui para pembuatnya sebagai docudrama, drama dokumenter, bukan dokumenter.
Sebagian besar adegan dibuat dalam rekaan ulang, walaupun ada juga beberapa bagian (sangat sedikit) berupa dokumentasi.
Dikerjakan dalam dua tahun, proses produksi film G30S menghabiskan biaya sebesar Rp 800 juta.
Angka tersebut terbilang terbesar untuk produksi film di masa itu.
Adapun jalan cerita film ini didasarkan hanya pada buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI yang ditulis oleh sejarawan militer, Nugroho Notosusanto.
Karena itu, pasca-Orde Baru, kebenaran alur cerita di film ini dipertanyakan hingga kemudian diputuskan tak lagi ada kewajiban penayangan.
Siapa sosok yang berperan dalam penghentian film G30S?
Berikut sejumlah hal dari film G30S yang diperdebatkan dan sosok dibalik penghentian penayangan film tersebut sebagaimana dirangkum dari Kompas.com, Minggu (29/9/2019):
1. Soal Mata Dicongkel
Imelda Bachtiar, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia sekaligus penulis memoar tema kesejarahan, menulis di Kompas.com tentang pengalamannya wawancaranya semasa jadi wartawan.
Dikutip dari Kompas.com, di masa dewasa dan baru lulus dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Imelda Bachtiar adalah seorang wartawan.
Ia lalu bersinggungan lagi cukup intens dengan tema peristiwa 1965 ketika majalah berita tempatnya bekerja, majalah D&R, menulis liputan utama selama empat edisi berturut-turut pada bulan Oktober 1998.
Imelda mewawancarai dr. Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.
Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.
Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”
Saya ingat, saya lalu bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata?
“Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.
Wartawan dan penulis kawakan Julius Pour mengutip lengkap wawancara saya di majalah D&R itu.
2. Soal Penyiksaan terhadap Piere Tendean oleh Gerwani
Masih merujuk penuturan Imelda, pada edisi Oktober 1998 itu Imelda juga mewawancarai Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung almarhum Kapten Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban.
Pierre anak tengah dan satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara.
Ibu Mitzi memiliki dokumentasi cukup lengkap surat kabar di masa itu yang menjadi topik wawancara kami.
Baca: Muak karena Wajib Buat Surat ‘Tidak Terlibat G30S’ , Soe Hok Gie: Surat yang Tidak Ada Gunanya
Salah satunya ketika kami membahas berita di koran Angkatan Bersenjatatentang almarhum adiknya yang disiksa dan dilecehkan seksual oleh para anggota Gerwani.
Ia mengunjungi sendiri para tertuduh di tahanan, dan dari bincang-bincang dengan para perempuan itu, dia sendiri ragu mereka pelakunya.
“Para perempuan itu diambil dari daerah Senen dan dipaksa mengaku mereka melakukan penyiksaan kepada Pierre,” kata Ibu Mitzi dalam wawancara itu. Wawancara lengkap saya ini diterbitkan di majalah D&R tahun 1999.
3. Sosok di Balik Penghentian Film G30S
Mengutip Kompas.com, ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya, 21 Mei 1998, mulai banyak pihak mengkritisi film G30S.
Film yang sejak semula memang tujuannya sebagai film propaganda di era pemerintahannya.
Ini diperkuat oleh hasil riset beberapa sejarawan yang baru terungkap setelah Presiden Soeharto berhenti.
Dari rujukan-rujukan yang diperoleh Imelda Bachtiar, setidaknya ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film G30S.
Mereka adalah almarhum Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono.
Majalah Tempo menulis, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.
"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.
Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting. Supaya informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.
Baca: Pierre Tendean Jadi Korban G30S, Berbohong demi Melindungi AH Nasution
Ada pun Menteri Penerangan saat itu Letjend (Purn.) TNI Yunus Yosfiah, mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Seorang Anak SMP di Tahun 1984 dan Film Pengkhianatan G30S/PKI")
(Tribunnews.com/Daryono)